Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mencatat ada 35 persen responden yang menentukan pilihannya karena uang di Pemilu 2024. Pada Pemilu 2019, kelompok pemilih ini hanya 28 persen. "Pemilih oportunis menurun tapi pemilih transaksional atau pemilih wani piro meningkat," kata Burhanuddin dalam konferensi pers secara daring, Rabu, 21 Februari 2024. Dalam survei Indikator yang dilakukan usai pencoblosan, Rabu, 14 Februari 2024, jumlah masyarakat yang menganggap politik uang tidak wajar, menurun. Artinya, jumlah masyarakat menilai politik uang hal yang wajar meningkat. "Yang mengatakan politik uang tidak wajar dilakukan oleh calon anggota legislatif (caleg), tim sukses (timses), dan lainnya di 2019 (sebesar) 67 persen sekarang tinggal 49,6 persen," ujar jelasnya.

Kemudian, jumlah pemilih yang menolak politik uang menurun. Pada Pemilu 2019, 9,8 persen pemilih menyatakan menolak politik uang. Namun pada Pemilu 2024, hanya 8 persen. Survei ini dilakukan pada 14 Februari 2024 di 3 ribu tempat pemungutan suara (TPS). Sebanyak 2.975 responden yang dipilih dengan stratified two stage random sampling. Wawancara responden dilakukan dengan tatap muka. Margin of eror sekitar 1,8 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Fenomena Politik Uang atau Money Politik, kerap terjadi di berbagai Negara, yang menganut Sistem Demokrasi. Untuk melakukan pemilihan secara Umum agar mendapatkan pemimpin dari sistem pemungutan suara rakyat yang dilakukan secara serentak di suatu daerah. Namun, fenomena Politik Uang menjadi hal yang sangat-sangat sering terjadi, bahkan di Indonesia sendiri, menjadi pelaku Money Politik atau Politik Uang terbesar nomor 3 di tingkat Dunia.

Bahkan di Indonesia sendiri, fenomena Politik Uang menjadi hal yang telah mendarah daging dan juga menjadi budaya buruk yang turun temurun, hal ini terjadi tidak terlepas dari pembiasaan ataupun adanya stigma normalisasi dari masyarakat, yang bahkan mengatakan bahwasannya, Politik Uang adalah hal yang wajar, dan merupakan hak rakyat untuk menerima, dan terlepas memilih calon yang bersangkutan itu adalah urusan belakangan. Politik Uang atau Money Politik merupakan bentuk ketidaksiapan para calon pemimpin yang tidak punya jiwa kepemimpinan, yang tidak bisa bersaing secara sehat dengan beradu argumentasi dan juga memberikan program-program yang masuk akal kepada masyarakat, namun mereka hanyalah orang-orang yang ingin maju karena hanya punya modal uang saja, untuk membeli suara rakyat, yang merupakan hak yang tidak bisa di perjualbelikan dengan uang yang tak seberapa.

Terjadinya fenomena Politik Uang ini, juga menggambarkan bahwasannya, bagaimana peran insan terpelajar yang hanya menyibukkan dirinya sendiri dengan pengetahuannya sendiri, sehingga mulai muncul ketimpangan antara orang terpelajar dan orang yang awam terhadap perpolitikan. Peran penting ini harus di ambil alih oleh para kaum terpelajar, agar bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat awam, untuk bisa mensosialisasikan bagaimana bahayanya Politik Uang ini, untuk keberlangsungan Negara Indonesia kedepannya. Kemudian, untuk fenomena Politik Uang yang telah terjadi, kita tidak bisa saling menyalahkan satu sama lain, dikarenakan ini hal yang harus menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi Bangsa Indonesia, yang harus bisa memberantas secara tuntas fenomena Politik Uang ini, dan hal ini pula juga yang menjadi PR terbesar untuk Bangsa Indonesia, mengingat angka Pemilih yang menolak Politik Uang yang menurun dari Pemilu 2019 (9,8 persen) menjadi angka (8 persen) pada Pemilu 2024, yang berarti selisih (1,8 persen).

Maka dari itu, atas kejadian yang telah terjadi, terkait Politik Uang ini, harus adanya gerakan sosialisasi yang tidak sekedar omon-omon saja, yang sifatnya memang merangkul dan memberikan pemahaman kepada masyarakat, bukan dengan pencitraan saja, namun dengan memberikan citra yang nyata, yang bisa membawa masyarakat awam untuk menghindari Politik  Uang yang menjadi kasus besar di Indonesia di dalam Pemilihan Umum, yang telah menjadi penyakit di dalam batang tubuh demokrasi Bangsa Indonesia ini. Kemudian, yang terpenting adalah, bagaimana seleksi yang seharusnya dilakukan oleh pelaksana Pemilu, agar bisa menyeleksi para calon yang memang kompeten, bukan hanya sekedar bermodalkan uang saja, dan juga peran penting para insan terpelajar untuk bisa saling merangkul masyarakat awam yang menjadi target empuk oleh para oknum pelaku Politik Uang, serta kepada masyarakat umum yang harus saling bahu membahu untuk menolak secara tegas adanya Politik Uang, yang harus menjadi pemantau keberlangsungan Pemilu selanjutnya.

Penulis : Maikal Agus Riandi, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas