Ada penyakit akut yang menghinggapi sebagian pejabat publik, yaitu dominannya perhatian pada kepentingan sendiri dibanding amanah yang dibebankan. Hal ini merupakan mimpi buruk bagi rakyat yang ikhlas mendukungnya. Sebab pelayanan terhadap rakyat bukan menjadi pusat dari strategi dan aksi yang dilakukan. Semua akhirnya akan bermuara pada upaya pemenuhan kepentingan pribadi atau golongannya. 

Lama rakyat menunggu, begitu banyak anggaran dikeluarkan. Digenapi pula oleh kesibukan aparat sipil serta aparat pengamanan dalam mengawal helat pemilu, pilkada dan pileg. Akhirnya yang diperoleh adalah 'zong'. Rakyat kena prank! 

Mari kita lihat beberapa fenomena yang teramati: 

Hari-hari pertama menjalankan tugas pasca dilantik, sang pejabat sudah mulai berpikir untuk maju lagi pada periode berikutnya. Alih-alih fokus pada kerja,  selanjutnya berbagai keputusan yang dibuat, siapa pejabat yang diangkat, MOU-MOU, network yang dibangun semua berorientasi pada investasi politik. 

Praktek turun ke lapangan,  sejatinya untuk menyerap aspirasi dan mengetahui masalah dari sumbernya, berubah menjadi aktivitas tebar pesona. Sebagian dibuat wajar, sebagian lagi garing,  macam sandiwara. Misalnya: marah-marah pada staf yang kedapatan kurang perform, atau yang ketahuan melakukan kesalahan. 

Tak jarang pula, tanpa malu, mereka mengumbar emosi di depan masyarakat kecil. Tutur bahasa halus yang dijaga selama masa kampanye berubah drastis. Makian dan umpatan keluar pula dari mulutnya. 

Selanjutnya tiap gerak yang menambah kredit akan terdokumentasi dalam foto video dan narasi sanjungan. 

Komunikasi media dikemas dari sudut pandang positif, yang dapat membangun image: bahwa dia tegas dan disiplin, zero toleransi pada kesalahan kecil. Padahal semua itu merupakan rangkaian skenario menaikkan rating. 

Kekompakan Kerja 

Dalam hal teamworking, antara pasangan kada, ambisi ingin maju dengan cepat berubah menjadi bara dalam sekam. Apa lagi, jika keduanya sama-sama berambisi. Habis sudah! Komunikasi akan tersumbat,  mereka tak akan lagi berjalan seiring, tak bertegur sapa.  Satu ke kanan, satu ke kiri. 

Suasana  aneh atau ganjil segera dapat terbaca, ketika kada dan wakilnya saling berebut untuk hadir dalam suatu acara. Mereka saling berebut pula menempatkan orang-orangnya pada setiap posisi jabatan yang ada. Ada pula kejadian pejabat ditunjuk atau dilantik tanpa sepengetahuan pasangannya. Mereka seperti main kucing-kucingan. 

Semua itu kemudian hanya akan menjadi bensin yang ditambahkan setetes demi setetes pada bara api yang mulai menyala pada hari pertama dilantik. Sepayah apapun menutupinya di depan umum, namun asapnya tak tertahan muncul juga.  Staf dan bawahan saling berbisik. Suasanya kantor sangat tak nyaman. 

Yang akan menjadi korban adalah rakyat yang telah menumpangkan harapan mereka. Rakyat hanya bisa urut dada, menahan rasa dongkol yang makin hari makin menyesakkan. Ujungnya adalah rasa muak. 

Hal-hal seperti ini sungguh merupakan benalu dalam upaya membangun bangsa ini. Sama sekali sulit kita membayangkan situasi itu ada pada negarawan seperti Hatta, Syahrir, Agus Salim, Natsir, Hamka, Lopa. Ini adalah sederet sosok yang dapat kita lihat putih hatinya. 

Kita berharap segeralah ada yang dapat mengingatkan para pejabat masa kini. Putihkanlah hati, jika memang ingin meninggalkan jejak baik dalam hidup. Jejak yang wangi, sehingga ketika kelak namanya disebut orang,  hanya kebaikan saja yang  terbayang, lalu orang-orang berdoa dengan doa yang baik pula untuknya.

Di luar itu, mari sama-sama dipahami baik-baik hadist Rasulullah,  tentang amanah jabatan ini:

Dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, "Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan (HR. Muslim no 6615)

Penulis : Henmaidi, Ph. D (Dosen Teknik Industri UNAND/Dimuat di Teras Utama Padang Ekspres,  9 Juni 2023)