Universitas Andalas (UNAND) telah resmi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 95 Tahun 2021 pada pada tanggal 31 Agustus 2021. Sebagai PTN-BH, UNAND memiliki otonomi penuh dalam bidang akademik (pendidikan, pengajaran, dan penelitian) dan non akademik[1] (mengelola keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga kependidikan). Ada yang menganalogikan PTN-BH beroperasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada aspek cara beroperasi itu, perubahan status UNAND sebagai PT BLU menjadi PTNBH diperdebatkan. Ketakutan pihak yang mengkritisi ada pada sisi neoliberalisasai pendidikan, yang berkorelasi dengan kompetisi pasar, komodifikasi, orientasi profit, dan karena itu dikuatirkan akan melakukan pembatasan akses terhadap masyarakat.

Argumentasi tersebut dapat dipahami karena masuknya Indonesia ke dalam kelompok World Trade Organization (WTO) sejak 1995.[2] Indonesia juga meratifikasi The General Agreement on Trade in Services (GATS) di bawah "Doha Development Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001. GATS khusus mengatur perdagangan jasa dunia dan berkomitmen bebas hambatan penyedia jasa asing dalam menjalankan usahanya di suatu negara anggota. Ada 12 sektor jasa yang diatur dalam GATS yakni: sektor bisnis, keuangan, konstruksi, kesehatan, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budaya, jasa komunikasi, dan termasuk pendidikan.

Konsekuensi suatu negara meratifikasi perjanjian di dalam WTO adalah kewajiban untuk mengintegrasikan aturan perjanjian WTO ke dalam aturan hukum nasionalnya. Prinsip dasar GATS adalah menuntut agar negara-negara anggotanya mematuhi prinsip non-diskriminasi (most-favoured nation dan national treatment) dan prinsip transparansi. Prinsip national traetment dalam GATS adalah aturan tanpa syarat dan wajib dipatuhi oleh seluruh negara anggota WTO yang meratifikasi perjanjian GATS.

Argumentasi yang mendukung PTNBH UNAND adalah fakta bahwa perjalanan waktu telah menghantarkan masyarakat dunia ke Abad-21 dan tuntutan kemajuan konvergensi dalam tatanan global adalah keniscayaan yang tidak bisa ditunda atau perlambat. Tantangan Abad-21 tak bisa dihindari dan mesti dihadapi dengan kesiapan kompetitif. Ada banyak fakta yang ditunjukkannya, di antaranya persaingan global, ekonomi digital, otomatisasi, dan bonus demografi.

a. Persaingan Global

Globalisasi adalah konsekuensi dari kemajuan teknologi yang mendorong terbangunnya peradaban lintas batas akibat mengaburnya batas-batas negara-bangsa (borderless worid). Kenichi Ohmae (1990, & 1996) menyebut ada empat pilar (4i) globalisasi itu, yaitu investasi, Industri, Informasi, dan individualisasi. Investasi tidak lagi dibatasi oleh factor goegrafis negara bangsa, dapat dilakukan di belahan dunia mana pun tanpa kendala. Demikian pula industri, proses produksi tidak lagi terkendala oleh batas-batas geografis suatu negeri. Semua itu direkat oleh capaian teknologi informasi yang memfasilitasi dengan baik seorang Ceo perusahaan multinasional mengontrol operasi banyak perusahaan di berbagai negara dari tempatnya berdiri. Aspek individualisasi menunjukkan berkurangnya pembatasan negara terhadap pola konsumsi seseorang karena orientasi kualitas dan harga kompetitif jadi prioritas[1]

b. Ekonomi Digital

Revolusi industry 4.0 mengubah paradigma industry dengan mengarahkan kepada penggabungan teknologi fisik dengan teknologi digital agar system produksi yang lebih efisien, fleksibel, dan terhubung.  Transformasi ekonomi makin kencang bergerak. Teknologi telah pula mengubah proses produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa menjadi serba digital. Teknologi digital menjadi elemen kunci dalam proses ekonomi tersebut.  Era ekonomi digital telah dimulai sejak 1980an dengan dukungan computer pribadi dan internet, dan terus berkembang pesat dengan spectrum luas, seperti: e-commerce, perbankan digital, fintech, aplikasi perpesanan instan, media social, dan juga dukungan transportasi berbasis aplikasi dan online travel. Hal itu di satu sisi membuka peluang usaha dan pekerjaan baru tetapi menutup bahkan mematikan sub-sub sector ekonomi konvensional. Perubahan yang cepat menimbulkan gagab budaya atau culture shock. Oleh sebab itu, diperlukan kesiapan sumber daya manusia yang melek ekonomi digital dan pendidikan.

diarahkan kepada penciptaan dan pencapaian kompetensi itu agar secara kompetitif bisa mengisi slot-slot peluang usaha dan lapangan kerja tersebut.

a. Otomatisasi

Sederhananya, otomatisasi adalah proses mengubah sesuatu yang lazimnya dilakukan secara manual dengan tenaga manusia menjadi serba otomatis melalui penggunaan mesin atau sistem teknologi. Otomatisasi lebih sistematis, efektif, tidak memerlukan pengawasan alamiah manusia, dan bisa diterapkan pada berbagai jenis pekerjaan, seperti industri manufaktur, jasa, dan proses bisnis. Kemanfaatannya adalah efisiensi kerja dan produktifitas, minimalisasi kesalahan manusia, efisiensi waktu dan biaya, meningkatkan kualitas produk barang dan jasa, dan lebih akurat dalam membantu pengambilan keputusan. Otomatisasi bisa menguntungkan apabila seseorang menjadi subjek bukan menjadi objek. Dalam proses produksi, kalau bukan produser jadilah broker jangan user. Menghadapi realitas otomatisasi, dituntut kemampuan kerja (skill) di samping penguasaan pengetahuan, kemampuan manajerial, dan sikap & tata nilai. Jika tidak, seseorang akan tertinggal digilas kemajuan.

b. Bonus Demografi

Bonus demografi ditandai oleh keadaan penduduk usia produktif (16-64 tahun) mendominasi komposisi demografi sebuah negara. Indonesia sedang mengalami itu dengan proporsi sekitar 60% yang diperkirakan dalam rentang 2020-2035. Apa kemanfaatan yang dapat diperoleh dengan kondisi demikian? Jawabnya tidak ada bahkan mungkin jadi beban apabila kelebihan angkatan kerja (penduduk usia produktif) itu tidak memiliki kompetensi kompetitif dalam mencipta produk atau setidaknya merebut pasar kerja yang tersedia, baik nasional maupun apalagi di tingkat global. Banyak negara maju yang mengalami deficit penduduk usia produktif, dan orientasi pasar kerja lulusan UNAND sesungguhnya kesana, tetapi bukan sesuatu yang mudah untuk diraih. Sebab, negara-negara seperti Cina, India, Filipina, dan lainnya juga memperoleh bonus demografi. Oleh sebab itu, dalam kompetisi global yang cenderung menempatkan yang kuat sebagai pemenang dan yang lemah menjadi pecundang itu, UNAND perlu berbenah. Kompetensi lulusan perlu menjadi tolok ukur dalam capaian pembelajaran. Dalam konteks ini, UNAND ditantang untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang kompeten.

Hak Lulusan dan Kewajiban Institusi

Mengacu kepada Permenristekdikti RI Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, kompetensi mahasiswa yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi sudah ditetapkan menjadi hak lulusan. Pada pasal Pasal 25 ayat (5) 

dinyatakan bahwa mahasiswa yang dinyatakan lulus berhak memperoleh: a) ijazah, b) sertifikat profesi bagi lulusan program profesi, c) sertifikat kompetensi, d) gelar, dan e) surat keterangan pendamping ijazah (SKPI).  Tertib dan teknis penerbitan Ijazah, Sertifikat Kompetensi, Sertifikat Profesi, Gelar dan Tata Cara Penulisan Gelar di Perguruan Tinggi juga telah diatur dalam Permenristekdikti No 59 Tahun 2018. Dengan kata lain, kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga kompeten (LSP sebagai perpanjangan tangan BNSP) dan diakui di tingkat nasional dan regional adalah hak seorang lulusan dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi institusi perguruan tinggi.

Atas dasar itu pada 2018, dengan dukungan Rektor (Prof. Dr. Tafdil Husni, SE, MBA) telah Kita rintis pendirian LSP di Universitas Andalas. Walaupun memerlukan waktu panjang untuk memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Alhamdulillah akhirnya pada 23 Juni 2023 LSP P1 Universitas memperolehnya.

Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh LSP dalam mendukung UNAND sebagai PTNBH dalam mewujudkan lulusan yang kompeten sesuai Standar Kompetensi Kerja (SKK) Nasional/ Internasional/ Khusus menuju WCU?

Penulis : Dr. Hasanuddin (Dosen FIB/Ketua LSP Universitas Andalas)