Pada 17 Agustus 2023, rakyat Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Sudah 78 Tahun republik ini berdiri, dengan segala bentuk proses yang dilalui sebagai sebuah negara. Pertanyaan mendasar dan selalu didengungkan saat memperingati hari kemerdekaan adalah : apakah kita sebagai satu negara sudah benar-benar merdeka? Pertanyaan ini bagi sebagian orang mungkin terdengar sepele. Tetapi jika kita menelisik lebih jauh, dan menghubungkannya dengan eksistensi sebuah negara, tentu ini butuh penjelasan yang kurang lebih kompleks, sebagaimana kompleksnya suatu negara.

Jika melihat sekilas ke belakang, saat awal di mana Indonesia mulai berdiri, kita mengetahui dan memahami bahwa sudah tak sedikit perubahan yang terjadi dalam sistem politik Indonesia. Mulai dari orde lama (1945-1966), orde baru (1966-1999), dan reformasi (1998-sekarang). Proses demokrasi mengalami pasang surut, laksana ombak di tepi pantai. Kadang-kadang pasang, kadang surut. Tapi kita patut bersyukur, pasang surut demokrasi di Indonesia sejauh ini masih mendukung untuk terlaksananya pembangunan Indonesia yang dicita-citakan.

Idealnya, momentum peringatan kemerdekaan adalah momentum untuk mereview kembali, bagaimana sejarah Indonesia dimaknai dan diteruskan oleh generasi selanjutnya. Bukan hanya terjebak dalam seremonial yang terkadang malah membuat miris. Karena kita semua mafhum, bahwa sekalipun pembangunan di Indonesia (fisik dan non fisik, material dan non material) telah banyak perubahan, masih banyak yang perlu ditingkatkan. Aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, keamanan, hubungan internasional membutuhkan banyak perhatian semua pihak. Pola pembangunan partisipatif menjadi pola penting yang seharusnya diterapkan. Pemerintahan yang transformatif dan warganegara yang partisipatoris, adalah hal yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan Indonesia emas (sebagaimana tagline rezim saat ini).

Bukanlah hal yang lucu, kalau cita-cita mewujudkan Indonesia emas hanya sekadar tagline untuk dianggap populis. Cita-cita ini mestinya menjadi cita-cita bersama, kehendak bersama, yang dicapai dengan kerja bersama. Sejarah tujuh dasawarsa lebih Indonesia merdeka, sejatinya mengajarkan banyak hal kepada generasi-generasi yang ada. Bahwa cita-cita yang besar dalam konteks bernegara, tidak akan terwujud hanya oleh satu orang atau satu kelompok saja. Apalagi Indonesia adalah negara yang luas, dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta (2021), dengan beragam suku budaya, demografi dan geografis yang luar biasa besar. Secara fisik ini tentu kondisi yang menguntungkan. Bahkan pada 2030 diprediksi 68% penduduk Indonesia berada dalam rentang usia produktif. Suatu bonus demografi yang akan sangat sayang kalau disia-siakan.

Pertanyaannya, apakah pemerintah dan rakyat Indonesia sudah menyiapkan diri untuk menuju Indonesia emas tersebut? Negara dalam usia yang tidak lagi remaja, berarti masuk pada fase mandiri dalam semua aspek kehidupan (fisik, mental dan spirituil). Dalam konteks bernegara, pembangunan ekonomi akan sejalan dengan pembangunan politik. Sejarah telah memperlihatkan bahwa ruang publik yang tertutup, menjadi akar masalah dalam demokrasi. Demokrasi yang mengalami kemerosotan berdampak pada pembangunan ekonomi, vice versa.

Peringatan kemerdekaan Indonesia di usia 78 tahun, adalah sebuah momentum bagi seluruh komponen bangsa dan negara Indonesia untuk menyatukan langkah bersama, menuju Indonesia emas. Inilah momentum untuk menentukan nasib sendiri, menjadi negara yang kuat atau terus menerus bertekuk lutut pada persaingan antar elit, ego sektoral, atau kepentingan kekuasaan jangka pendek. Kritik, suka atau tidak suka harus diterima sebagai bagian untuk mengingatkan Indonesia agar selalu berada dalam arah pembangunan sesuai amanah Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia alinea ke empat.

Pemilu pada 2024 menjadi peluang bagi rakyat Indonesia, untuk memilih para pemimpin yang berpikiran terbuka, memahami arah pembangunan Indonesia, serta mempunyai visi mewujudkan Indonesia emas. Mulai dari pemimpin di level daerah, sampai pemimpin di level nasional dan negara. Kita (rakyat Indonesia), membutuhkan sosok para pemimpin yang negarawan. Pemimpin yang tidak hanya memiliki jabatan, tapi menggunakan jabatan untuk kemaslahatan bersama. Pemimpin yang tidak hanya menjadi elit politik politik, tetapi mengakar ke bawah dengan mindset melayani. Karena begitulah sejatinya pemimpin, melayani bukan dilayani. Kita membutuhkan pejabat publik yang sudah siap secara mental, ekonomi, sosial dan politik untuk memenuhi kehendak umum, bukan malah sebaliknya, mneggunakan jabatan publik untuk memenuhi kehendak pribadi atau kelompok.

Melakukan pembangunan secara fisik bisa terukur dari segi waktu dan biaya, tetapi melakukan pembangunan secara mental (non fisik), boleh jadi butuh waktu dan biaya yang tidak terukur. Hal ini harus diperhatikan oleh para pemimpin kita. Butuh kerjasama semua pihak, dengan pola pikir yang kurang lebih sama. Butuh rasa persatuan yang semakin hari semakin menebal dari seluruh warga negara Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates; kebajikan terbesar dalam sebuah negara adalah persatuan, dan kejahatan terbesar adalah perpecahan.

Maka makna 78 tahun kemerdekaan sekarang ini, tidak lagi hanya sekadar penggunaan baju adat atau perayaan makan krupuk, pacu karung di kampung -kampung. Tapi sudah saatnya seluruh warga negara melompatkan pikiran, mewujudkan Indonesia emas 10 atau 20 tahun yang akan datang. Agar eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara tetap terjaga, dan semakin kokoh menaungi seluruh warganya dalam kesejahteraan dan kebahagiaan.

Makna kemerdekaan boleh jadi beragam, tetapi tujuan sebagai sebuah negara tetap harus berada dalam garis yang sudah ditetapkan. Para The Founding Fathers telah menuntun kita, dalam sebuah konsep ideal yang seharusnya dijadikan rujukan bersama, oleh para elit politik, oleh para pemimpin serta seluruh warga negara Indonesia. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, kita pantas optimis, untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang lebih baik bagi generasi-generasi selanjutnya. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, sudah saatnya Indonesia dan seluruh warganya menentukan nasib (self- determined), menjadi negara yang kuat dan diperhitungkan. Wallahu’alam.

 

*Indah Adi Putri, Akademisi Universitas Andalas (Sudah terbit di Koran Padang Ekspres 19 Agustus 2023)