Jika tidak ada aral melintang, hari ini MK akan mengelar sidang pengucapan putusan terhadap sejumlah permohonan pengujian materiil Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017.  Norma tersebut memuat ketentuan syarat batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden paling rendah 40 tahun. Syarat batas usia ini dipersoalkan oleh para pemohon karena dinilai diskriminatif bagi warga negara yang umurnya di bawah 40 tahun. Terhadap permohonan tersebut, ada pihak telah memperkirakan MK akan mengabulkannya, namun juga terdapat yang masih yakin bahwa tidak mungkin MK mengabulkan permohonan ini. Masing-masing tentu memiliki alasan yang mendasari pendiriannya. Saya termasuk orang yang tidak yakin MK akan mengabulkan permohonan. Alasannya sederhana, sangat sulit membangun argumentasi hukum yang logis guna mengabulkan permohonan. Kenapa demikian?

Pertama, UUD 1945 tidak mengatur syarat minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden. Syarat yang secara tegas diatur dalam konstitusi hanya syarat calon Presiden dan Wakil Presiden mesti WNI sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, dan mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Adapun syarat lainnya, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 justru menyatakan, syarat­syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang­undang. Artinya, konstitusi secara tegas menyerahkan pengaturan syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden kepada pembentuk undang-undang.  Ketika pembentuk undang-undang mengatur batas usia minimal 40 tahun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, maka syarat tersebut adalah konstitusional, karena diatur oleh pembentuk undang-undang sesuai mandat Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.

Kedua, dalil syarat batas usia minimal 40 tahun sebagai sesuatu yang diskriminatif sebagaimana dikemukakan pemohon juga tidak logis. Sebab, MK telah berulang kali membangun konsepsi yang tegas tentang diskriminasi, yaitu perlakuan berbeda terhadap orang atau warga negara berdasarkan perbedaan ras, warna kulit, bahasa, kelahiran dan agama, gender, asal-usul kebangsaan. Saat yang sama, MK dalam sejumlah putusan terdahulu juga menentukan batas demarkasi yang jelas antara konsep “diskriminasi” dengan “perlakuan berbeda”. Bila diskrimasi dikonsepsikan sebagai perlakuan berbeda atas dasar ras, suku, warna kulit, dan agama, maka perlakuan berbeda dikonsepsikan sebagai perlakuan yang tidak sama karena faktor selain perbedaan ras, suku, agama dan gender karena adanya kebutuhan hukum yang menghendaki perlakuan berbeda itu. Perlakuan berbeda diperlukan karena kondisi setiap manusia memang berbeda satu sama lain, di mana agar keadilan dan kesetaraan dapat diwujudkan, maka memberlakukan warga negara secara berbeda sesuai kondisinya masing-masing justru menjadi keharusan.

Ketiga, hak pilih dalam pemilu termasuk dalam kategori hak politik. Dalam perspektif hak asasi manusia, hak politik masuk dalam kelompok hak yang dapat dikurangi atau dibatasi (derogable rights). Pemosisian hak pilih sebagai hak yang dapat dibatasi juga terkonfirmasi dari ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa hanya ada tujuh jenis hak yang tidak dapat dikurangi, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Hak pilih atau hak politik tidak termasuk dalam salah satu jenis hak yang dimuat dalam norma konstitusi tersebut, sehingga beralasan secara konstitusional untuk dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak pilih, termasuk pembatasan berkenaan dengan usia minimal bagi warga negara untuk menggunakan hak dipilih dalam pemilu. 


Keempat, dalam sejarah dan praktik ketatanegaraan Indonesia, syarat usia minimal calon dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memang selalu menjadi kebijakan hukum terbuka. Ketika Presiden dan Wakil Presiden masih dipilih MPR pada tahun 1999, syarat usia minimal calon adalah 40 tahun. Syarat ini diadopsi dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Batas usia minimal tersebut diturunkan menjadi 35 tahun melalui UU No. 23/2003 dan kembali dipertahankan ketika UU No. 23/2003 diganti dengan UU No. 42/2008. Ketika UU No. 42/2008 diganti dengan UU No. 7/2017, syarat usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden kembali dinaikkan menjadi 40 tahun. Sepanjang sejarah pemilu Indonesia, belum pernah sekali pun syarat batas usia minimal ini, baik 35 tahun ataupun 40 tahun, dinilai sebagai syarat yang diskriminasi. Sebab, penentuan syarat itu dipercaya sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang dapat diterima oleh semua pihak. Hingga hari ini pun, syarat batas usia tetap menjadi open legal policy pembentuk undang-undang karena faktanya memang demikian.

Kelima, syarat mengenai batas usia untuk dipilih dalam pemilu juga pernah diuji konstitusionalitasnya oleh MK. Misalnya MK pernah memutus permohonan pengujian Pasal 58 huruf d UU No. 32/2004 terkait batas usia minimal calon kepala daerah yang disyaratkan berusia sekurang-kurangnya 30 tahun. Melalui Putusan No. 15/PUU-V/2007, MK menegaskan bahwa syarat batas usia untuk dipilih pada jabatan tertentu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, di mana syarat tersebut dapat saja diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan perkembangan yang ada. Pendirian yang sama juga ditegaskan MK dalam Putusan No. 37/PUU-VIII/2010 dan Putusan No. 49/PUU-IX/2011. Artinya, MK telah memiliki posisi yang jelas mengenai syarat batas usia calon dalam pemilu. Penentuannya diserahkan kepada pembentuk undang-undang sesuai kebutuhan masing-masing jabatan. Hal itu sangat beralasan karena untuk konteks pelaksanaan hak pilih saja, pembentuk undang-undang menentukan batas usia yang berbeda-beda. Untuk dapat memilih, warga negara minimal berusia 17 tahun. Untuk dapat dipilih sebagai anggota legislatif, minimal berusia 21 tahun. Untuk menjadi calon kepala daerah minimal berusia 30 tahun. Kenapa batas usia minimal penggunaan hak pilih tersebut berbeda-beda? Kenapa tidak dibuat sama saja untuk semuanya? Apakah hal itu diskriminatif? Tentu tidak demikian. Pembentuk undang-undang yang mempertimbangkan syarat batas usia sesuai dengan kebutuhan masing-masing jabatan. Oleh karena itu, biarkan penentuan syarat batas usia ini tetap menjadi ranah pembentuk undang-undang untuk menentukannya.

 

MK Berubah Pendirian?

Sekalipun sulit mencarikan alasan logis untuk mengabulkan permohonan, namun apakah mungkin MK akan mengubah pendiriannya? Dari pengalaman-pengalaman terdahulu, MK memang telah pernah mengubah pendiriannya untuk beberapa hal, namun semuanya dilakukan atas alasan perkembangan kebutuhan hukum yang sangat jelas. Artinya, perubahan pendirian terjadi atas dasar argumentasi hukum yang logis dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika faktor yang menentukan sikap MK dalam memutus perkara batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden ini adalah alasan objektif-konstitusional, mustahil MK akan mengubah pendiriannya. MK hanya mungkin menggeser pendapatnya jika terdapat alasan non-objektif yang menjadi faktor penentu sikap para hakim konstitusi. Saya yakin para hakim konstitusi masih memegang teguh nilai-nilai kenegarawanan dan objektivitas dalam memutus permohonan ini.

Bagaimana jika keyakinan ini salah? Jika anggapan positif ini ternyata keliru, maka pertaruhan yang diletakkan untuk memilih pendirian itu sungguh sangat mahal. Pertama, jika dikabulkan, MK telah membuka ketidakpastian syarat minimal usia bagi seluruh jabatan publik, baik yang dipilih maupun yang diangkat. Sekali MK menyatakan syarat minimal usia 40 tahun calon Presiden dan Wakil Presiden inkonstitusional, maka akan sangat potensial puluhan permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU yang mengatur syarat minimal batas usia akan diajukan ke MK. Semua akan menjadikan putusan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai basis argumentasinya. Apakah MK tetap akan menerimanya? MK tentu juga wajib menerima permohonan itu demi asas similia similabus. Jika tidak, MK akan kehilangan harga diri dan akan jatuh ke jurang ketidakpercayaan publik yang sangat serius. Hanya saja, putusan itu akan menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam pengaturan syarat batas usia minimal jabatan publik.

Kedua, bila dikabulkan, ia akan menjadi pemicu bergulirnya energi ketidakpercayaan pada proses dan hasil Pemilu 2024. Jika hari ini terdapat sejumlah pihak yang begitu pesimis dengan fairness kontestasi 2024, maka putusan mengabulkan permohonan ini akan memantik gelombang besar yang memperkuat pesimisme dimaksud. Pada gilirannya, legitimasi Pemilu 2024 betul-betul akan keropos. Bisa saja pemilu tetap berjalan, namun siapa pun yang akan terpilih, tidak akan mendapatkan legitimasi yang cukup untuk mengelola kehidupan bernegara setelah pemilu kelak. Pada saat yang sama, MK sendiri tidak lebih hanya akan ditempatkan sebagai tukang stempel bagi proses dan hasil pemilu yang tidak adil.

Oleh karena itu, putusan yang dibacakan hari ini akan menjadi pertaruhan besar MK untuk ke sekian kalinya. Kemenangan sistem demokrasi konstitusional hanya jika MK menolak permohonan ini. Dengan begitu, lembaga peradilan ini akan terus dipercaya rakyat sebagai pengawal konstitusi dan pengawal pemilu adil di tengah kondisi demokrasi Indonesia yang sedang dalam menghadapi ujian demi ujian yang tidak mudah. Semoga! (Telah terbit pada laman Media Indonesia 16 Oktober 2023)

Penulis : Dr. Khairul Fahmi (Associate Professor Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas)