Opini Dosen

- Details
Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei tidak hanya menjadi penghormatan terhadap Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi kita semua, terutama para pendidik baik guru di sekolah maupun dosen di perguruan tinggi. Saya melihat bahwa tantangan dunia pendidikan hari ini bukan hanya persoalan kurikulum atau fasilitas, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana relasi komunikasi antara pendidik dan peserta didik dibangun dengan nilai-nilai kesantunan dan keteladanan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan memudarnya kesantunan di kalangan generasi muda. Ujaran kasar di media sosial, berkurangnya empati dalam interaksi sosial, serta menipisnya rasa hormat terhadap guru dan dosen menjadi gejala yang patut kita cermati bersama. Namun, fenomena ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba atau berdiri sendiri. Ia berkembang dalam lingkungan yang turut membentuk perilaku itu, termasuk lingkungan pendidikan, keluarga, dan media digital.

- Details
Kita lebih sering mengetik daripada berbicara. Dalam satu hari, ratusan pesan melintas di layar ponsel dari obrolan ringan hingga diskusi penting. Percakapan kini berlangsung dalam bentuk teks, cepat dan praktis, tetapi sering kali kehilangan sentuhan manusiawi. Salah satu dampak dari pergeseran ini adalah dry text, pesan singkat yang terdengar datar dan minim ekspresi. Bagi sebagian orang, ini hanyalah cara berkomunikasi yang efisien. Namun, bagi yang lain, pesan-pesan ini bisa terasa dingin, menimbulkan kebingungan, bahkan membuat penerimanya merasa diabaikan.Bayangkan seorang sahabat yang dulu sering berbicara panjang lebar tiba-tiba hanya menjawab pesan dengan "Oke" atau "Sip." Bagi sebagian orang, jawaban semacam ini adalah cara yang efisien dan langsung untuk merespons. Namun, bagi orang lain, jawaban seperti itu bisa terasa kaku, menimbulkan kebingungan, bahkan kesan acuh tak acuh.

- Details
Korupsi adalah musuh bersama yang telah lama menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, korupsi sudah menjadi masalah struktural yang merambah hampir semua lini: dari pemerintahan pusat, daerah, hingga ke sektor swasta. Kerugian negara yang ditimbulkan pun bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Maka, muncul satu pertanyaan krusial: dalam upaya melawan korupsi, mana yang lebih efektif—reformasi hukum atau penerapan hukuman mati?

- Details
Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Prof. Miriam Budiardjo (2024) disebutkan bahwa parlemen atau parliament, adalah suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan, dalam sebutan lain parlemen mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya yang dinamakan Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tahun 1998 Indonesia mengalami reformasi politik yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintah yang demokratis, transparan dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Yang menjadi aspek penting dalam reformasi ialah penguatan parlemen untuk menunjang tiga pilar demokrasi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif berdasarkan konsep trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu.

- Details
Indonesia telah menjalani perjalanan panjang dalam sistem politiknya. Setelah reformasi 1998, negara ini beralih menjadi negara demokratis yang mengandalkan Pemilu sebagai cara utama untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali diharapkan mampu membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia. Namun, meskipun Pemilu dianggap sebagai simbol demokrasi, banyak yang mulai meragukan apakah Pemilu cukup efektif untuk mengubah sistem politik yang ada, ataukah Indonesia justru membutuhkan revolusi politik untuk mencapai perubahan yang lebih mendalam. Lalu, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengubah sistem politik Indonesia?