Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Prof. Miriam Budiardjo (2024) disebutkan bahwa parlemen atau parliament, adalah suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan, dalam sebutan lain parlemen mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya yang dinamakan Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Pada tahun 1998 Indonesia mengalami reformasi politik yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintah yang demokratis, transparan dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Yang menjadi aspek penting dalam reformasi ialah penguatan parlemen untuk menunjang tiga pilar demokrasi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif berdasarkan konsep trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu.

Sejak reformasi tahun 1998 rakyat Indonesia memiliki harapan besar kepada parlemen sebagai lembaga negara yang bertugas mewakili kepentingan rakyat, yang sebelumnya kekuasaan parlemen cenderung terbatas karena sikap otoriter sang presiden yang menyebabkan aspirasi masyarakat tidak terakomodasi dengan baik dalam proses legislasi, oleh karena itu banyak masyarakat Indonesia merasa tidak mendapatkan hak-haknya yang mendorong mereka untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut reformasi politik kepada rezim orde baru. Namun reformasi tersebut tidak terlihat sebagaimana yang dimimpikan. Ketidakpercayaan publik terus meningkat karena berbagai faktor seperti buruknya kinerja legislasi, kasus korupsi yang banyak melibatkan anggota parlemen, hingga mengakarnya oligarki di tubuh parlemen. Hal ini memunculkan banyak pertanyaan tentang keberhasilan reformasi yang sudah berjalan lebih dari dua dekade, tetapi kepercayaan publik justru terus mengalami penurunan terutama kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Student (CSIS) pada 13-18 Desember 2023 terkait kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara, survei ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terendah adalah DPR meliputi 56,2% percaya, 42,8 tidak percaya, 1,0% tidak tahu/tidak menjawab. Terlebih dengan adanya pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) melalui sidang paripurna di gedung DPR RI, Jakarta, kamis (20/3/2025). Yang menambah daftar panjang kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, hal ini dibuktikan dengan munculnya gelombang aksi demonstrasi di berbagai daerah salah satunya di DPRD Kota  Padang dengan tajuk “Tolak RUU TNI” pada Kamis (20/03/2025).

Mahfud MD buka-bukaan tentang korupsi di Indonesia dalam sesi tanya jawab dengan Metro TV pada hari Senin, (24/3/2025). Menurutnya korupsi di Indonesia sekarang ini jauh lebih parah dibanding tahun 1998. Terlebih dengan banyaknya pemberitaan liga korupsi Indonesia yang tersebar di masyarakat, hal ini tentu memperkuat anggapan masyarakat bahwa parlemen hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompok dibanding kepentingan umum. Parlemen mengalami tantangan besar dalam menjalankan fungsi legislasi karena dominasi oligarki di tubuh parlemen hal ini terjadi karena dalam proses pencalonan anggota legislatif dikuasai oleh petinggi partai, sehingga proses pencalonan didasari oleh kedekatan dengan petinggi partai yang kemudian terpilih menjadi anggota parlemen lalu lebih mementingkan kepentingan partai dibanding  kepentingan umum, akibatnya rakyat semakin sulit menyuarakan aspirasi mereka melalui anggota parlemen terpilih. Hal ini didukung dengan ucapan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Pacul saat menjawab permintaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023). Bambang yang terang-terangan mengatakan Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan, tentu pernyataan tersebut sangat menyakiti hati rakyat dan sampai sekarang pun RUU Perampasan Aset masih belum disahkan setelah berganti Presiden.

Dalam teori kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau bahwa setiap manusia memiliki derajat, hak, dan kewajiban yang sama dan kekuasaan harus berada di tangan rakyat, parlemen berfungsi sebagai representasi kehendak masyarakat jika parlemen tidak bisa merepresentasikan kehendak masyarakat, maka aspirasi masyarakat tidak akan terakomodasi dalam proses legislasi akibatnya demokrasi menjadi lemah dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi bukti bahwa parlemen semakin jauh dari kehendak rakyat, beberapa pasal dianggap bermasalah karena dianggap memberikan kesempatan kepada TNI untuk kembali ke ranah sipil dan hal tersebut bertentangan dengan cita-cita reformasi. Walaupun banyak elemen masyarakat yang menolak RUU TNI namun proses pembahasan tetap berjalan secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat-Sabtu, (14-15/3/2025).

Ketidakpercayaan publik terhadap parlemen adalah bentuk kekecewaan masyarakat terhadap buruknya kinerja legislasi, maraknya praktik korupsi, dan dominasi oligarki di parlemen. Jika dibiarkan maka reformasi dapat dianggap gagal dan berpotensi memunculkan gelombang demonstrasi besar-besaran, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk antisipasi menurunnya kepercayaan publik pada parlemen ke depan, yaitu: pertama peningkatan transparansi dalam proses legislasi, karena transparansi akan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan legislasi, anggaran, dan kinerja anggota parlemen. Kedua pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, dengan memberlakukan sanksi tegas bagi para koruptor akan mendorong sikap amanah anggota parlemen. Ketiga menerapkan prinsip meritokrasi dalam mekanisme pencalonan anggota parlemen sehingga anggota parlemen terpilih adalah orang-orang yang memiliki kemampuan, prestasi, kualifikasi dan rekam jejak yang bagus agar mampu merepresentasikan kepentingan umum.

Penulis: Ahmad Fauzan Mahasiswa Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas