Indonesia kembali menerima menjadi lokasi uji klinis vaksin internasional. Kali ini untuk vaksin TBC M72/AS01E yang didanai Bill & Melinda Gates Foundation senilai USD 550 juta. Di balik gemerlap investasi filantropi global ini, tersimpan pertanyaan mendasar bagi kita, Apakah Indonesia akan selamanya menjadi laboratorium hidup atau mampu bertransformasi menjadi pemain utama dalam pengembangan vaksin?. Data epidemiologi memang tak terbantahkan. Indonesia menanggung beban TBC tertinggi kedua di dunia dengan hampir 125.000 kematian per tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, ini adalah 343 nyawa yang melayang setiap hari, 14 kematian setiap jam. Namun, ada paradoks yang mengganggu. Mengapa negara dengan beban penyakit tertinggi justru hanya menjadi lokasi uji klinis, bukan pengembang vaksin?
Sejarah yang terlupakan
Sejarah mencatat, Indonesia pernah menjadi pelopor. Vaksin BCG yang kini digunakan global, sempat diproduksi mandiri di BioFarma sejak 1970-an. Namun momentum ini meredup, tersisih oleh ketergantungan pada solusi impor. Kontras dengan India yang mengembangkan vaksin TBC sendiri (VPM1002) atau China dengan rekombinan BCG mereka. Kedua negara ini, dengan beban TBC yang juga tinggi, memilih jalan kedaulatan teknologi kesehatan. Pertanyaannya, mengapa Indonesia tidak?. Pengalaman sebelumnya menjadi berharga bagi kita, dan momentum ini menjadi peluang strategis jika Indonesia bermain cerdas memanfaatkan peluang ini.
Saatnya berubah peran
Sudah saatnya Indonesia merubah peran strategis dalam momentum ini, dimana posisi kita tidak hanya menjadi objek tetapi subjek dalam pengembangan vaksin ini. Beberapa peluang strategis dapat dimanfaatkan, Indonesia harus menuntut transfer teknologi sebagai bagian integral dari kesepakatan. Bukan hanya uji klinis, tapi juga pembelajaran proses pembuatan adjuvan AS01E yang menjadi kunci efikasi vaksin. Ini merupakan proses negosiasi teknologi yang dapat dimanfaatkan. Investasi SDM, dari pengalaman vaksin Merah Putih COVID-19, Indonesia memiliki talenta yang mumpuni. Pengalaman pandemi COVID-19 seharusnya menjadi pembelajaran berharga. Ketika dunia berebut vaksin, Indonesia terpaksa mengantri. Vaksin Merah Putih yang digadang-gadang sebagai simbol kemandirian dan kedaulatan kesehatan di Indonesia. Sementara itu, negara-negara yang memiliki kapasitas riset dan produksi vaksin mampu melindungi populasinya lebih cepat dan dengan biaya lebih terkendali. Momentum ini juga harus digunakan untuk mengirim peneliti Indonesia magang di laboratorium The Bill & Melinda Gates Medical Research Institute (Gates MRI), mempelajari seluk-beluk pengembangan vaksin TBC. Disisi lain, kita mengakui selama ini infrastruktur riset kita memang kurang memadai. Kesempatan saat ini, kita berpeluang melakukan pembangunan fasilitas Biosafety Level 3 (BSL-3) dan bio-manufacturing harus dipercepat. Tanpa infrastruktur memadai, Indonesia akan terus menjadi konsumen, bukan produsen teknologi kesehatan. Ini akan menjadi modal dalam kemandirian mewujudkan kita menjadi pemain utama dalam pengembangan vaksin pada masa akan datang.
Tidak bisa ditunda
Dampak total kerugian ekonomis akibat penyakit TBC dan TB MDR adalah sekitar 136,7 milyar per tahun. Tanpa terobosan vaksin baru, Indonesia akan terus menanggung beban ini setiap tahunnya. Vaksin M72/AS01E dengan efikasi 50%, artinya dari 387 kasus baru TBC per 100.000 penduduk mampu mencegah 193.5 kasus baru TBC per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Jika vaksin TBC ini terbukti efektif di Indonesia, kedaulatan vaksin TBC menjadi momentum untuk membangun kapasitas mandiri, generasi mendatang akan terus menanggung beban ganda (beban penyakit dan beban ketergantungan). Jangan sampai pengalaman vaksin HPV yang harganya mencapai jutaan rupiah per dosis menjadi pelajaran berharga. Meski efektif mencegah kanker serviks, aksesnya terbatas pada kelompok mampu. Tentu ini jangan terulang dengan vaksin TBC, penyakit yang justru lebih banyak menyerang kelompok ekonomi lemah.
Membuat sejarah baru
Saatnya Indonesia harus bergerak, dari laboratorium global menjadi laboratorium untuk Indonesia. Ini bisa menjadi sejarah baru bagi Indonesia. Kedaulatan kesehatan terhadap vaksin harus diwujudkan melalui kewajibkan transfer teknologi, dengan meyiapkan dana abadi untuk riset vaksin yang mumpuni, Inisiasi pengembangan vaksin TBC bersama negara-negara ASEAN, untuk mengurangi beban penyakitTBC yang signifikan agar bisa menyediakan vaksin TB yang terjangkau oleh masyarakat. Kedaulatan kesehatan bukan hadiah, harus diperjuangkan, dinegosiasikan, dan direbut dengan strategi yang cerdas dan eksekusi yang tegas untuk rakyat Indonesia. (sudah terbit di kompas.id pada 21 Mei 2025)
Penulis: Defriman Djafri (Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas)