Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei tidak hanya menjadi penghormatan terhadap Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi kita semua, terutama para pendidik baik guru di sekolah maupun dosen di perguruan tinggi. Saya melihat bahwa tantangan dunia pendidikan hari ini bukan hanya persoalan kurikulum atau fasilitas, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana relasi komunikasi antara pendidik dan peserta didik dibangun dengan nilai-nilai kesantunan dan keteladanan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan memudarnya kesantunan di kalangan generasi muda. Ujaran kasar di media sosial, berkurangnya empati dalam interaksi sosial, serta menipisnya rasa hormat terhadap guru dan dosen menjadi gejala yang patut kita cermati bersama. Namun, fenomena ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba atau berdiri sendiri. Ia berkembang dalam lingkungan yang turut membentuk perilaku itu, termasuk lingkungan pendidikan, keluarga, dan media digital.

Kesantunan adalah bentuk komunikasi yang paling mendasar, namun sekaligus paling berpengaruh dalam proses pendidikan karakter. Dalam teori komunikasi, pesan tidak hanya disampaikan melalui kata-kata (verbal), tetapi juga melalui bahasa tubuh, sikap, dan ekspresi (nonverbal). Maka ketika dalam interaksi sehari-hari pendidik menunjukkan sikap terbuka, penuh hormat, dan empati, hal itu akan membentuk atmosfer pembelajaran yang sehat. Sebaliknya, komunikasi yang bersifat merendahkan atau kurang bijak, baik secara langsung maupun melalui media sosial, secara tidak disadari dapat menjadi contoh yang ikut ditiru oleh peserta didik.

Tentu tidak semua pendidik bersikap demikian. Kita justru harus mengapresiasi banyak guru dan dosen yang dengan sepenuh hati telah menjadi teladan dan penjaga nilai-nilai luhur dalam pendidikan. Namun, justru karena masih banyak pendidik yang menjaga integritas dan kesantunan itulah, penting bagi kita untuk saling mengingatkan dan merefleksikan kembali peran sebagai penggerak peradaban.

Cara berpakaian yang mencerminkan profesionalisme, integritas, dan adab.Cara berbicara bukan hanya soal kedewasaan, tetapi juga bagaimana cara kita berkomunikasi akan menentukan siapa kita dan akan mempengaruhi bagaimana orang lain menghargai dan menghormati kita. Penggunaan media sosial yang bijak serta bertanggung jawab, yang mencerminkan sikap dan karakter kita di dunia digital, semuanya adalah bagian dari komunikasi simbolik yang sarat makna dalam dunia pendidikan. Dalam posisi ini, guru dan dosen bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga sebagai teladan hidup bagi peserta didik, menunjukkan dengan nyata bagaimana seharusnya seseorang menghidupi nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Saya percaya, komunikasi yang santun menciptakan ruang belajar yang aman, inklusif, dan memberdayakan. Dalam komunikasi yang baik, ada keterbukaan tanpa merendahkan, ada otoritas tanpa otoriter, dan ada keakraban tanpa kehilangan wibawa. Prinsip Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” tetap relevan hari ini. Pendidik harus tetap menjadi teladan di depan, pendorong semangat di tengah, dan pendukung di belakang. Refleksi ini bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memperkuat kesadaran bersama bahwa pendidikan bukan hanya soal isi materi, tetapi juga soal cara membentuk karakter melalui teladan yang hidup.

Di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita semua, para pendidik, mengambil waktu untuk merefleksikan kembali bukan hanya apa yang kita ajarkan, tetapi bagaimana kita mengajarkannya. Sebab, dalam setiap kata yang kita ucapkan, dalam setiap sikap yang kita tampilkan, tersimpan pengaruh besar terhadap cara peserta didik memandang, meniru, dan membentuk dirinya.

Komunikasi yang santun bukan sekadar soal pilihan kata, tetapi merupakan jembatan nilai yang mampu menanamkan rasa hormat, empati, dan tanggung jawab. Ketika guru dan dosen membangun relasi yang berlandaskan kesantunan dan keteladanan, mereka tidak hanya membentuk suasana belajar yang kondusif, tetapi juga sedang mencetak karakter bangsa.

Sebab pada akhirnya, pendidikan sejati bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi tentang transformasi akhlak, dan transformasi itu bermula dari keteladanan dari pendidik yang layak digugu dan ditiru.

 

Penulis: Dr. Ernita Arif, MSi Dosen Ilmu Komunikasi dan Kepala Kantor Humas, Protokol dan Layanan Informasi Publik UNAND