Jakarta (UNAND) - Sebelas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas mengajukan pengujian Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pemeriksaan Perkara Nomor 187/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan pada Selasa (4/3/2025). Para Pemohon yakni Muhammad Zhafran Hibrizi, Basthotan Milka Gumilang, Adria Fathan Mahmuda, Suci Rizka Fadhilla, Nia Rahma Dini, Qurratul Hilma, Fadhilla Rahmadiani Fasya, Adam Fadillah Al Basith, Hafiz Haromain Simbolon, Khoilullah MR, dan Tiara. Mereka menghadiri persidangan secara daring dan luring dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Pasal 28 Ayat (2) UU ITE menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.”
Basthotan Milka Gumilang menyebutkan pasal tersebut bertentangan dengan 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. “Kami ke-sebelas Pemohon merupakan mahasiswa Fakultas Hukum yang aktif dalam pengkajian isu hukum yang terjadi di Indonesia, sehingga pasal ini sangat potensial merugikan kami,” sebut Basthotan dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani sebagai hakim anggota.
Selanjutnya Muhammad Zhafran Hibrizi dan Adria Fathan Mahmuda secara bergantian menyebutkan bahwa para Pemohon menilai frasa “rasa benci atau permusuhan” yang termuat dalam pasal tersebut tidak memiliki takaran atau ukuran yang jelas atas tindakan yang dapat dikategorikan hal tersebut. Berikutnya para Pemohon juga menyebutkan frasa “masyarakat tertentu” yang ada pada pasal tersebut memungkinkan akan terjadinya tafsir berbeda dari yang seharusnya. Sehingga kesalahan penafsiran tersebut dapat merugikan setiap orang yang akan melakukan kritik terhadap suatu komunitas sosial, yang tidak berafiliasi atas nama ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental atau disabilitas fisik. Frasa tersebut cenderung disalahgunakan oleh berbagai macam kelompok sosial yang tidak berafiliasi dengan hal-hal tersebut dan ditafsirkan sebagai kelompok masyarakat tertentu saja. Setidaknya sudah terjadi pada beberapa kasus kriminalisasi atas kritik terhadap organisasi atau kelompok masyarakat.
“Berdasarkan alasan permohonan, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan penghapusan frasa “masyarakat tertentu” dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; menyatakan untuk pemberian penjelasan lebih lanjut atas Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” ucap Adria membacakan petitum permohonan para Pemohon.
Sikap Mahkamah
Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihat Panel Hakim menyebutkan pada putusan-putusan MK terdahulu di antaranya Putusan Nomor 52/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 76/PUU-V/2017, dan Putusan Nomor 36/PUU-XX/2020 yang telah memiliki sikap atas pengujian norma terkait. Sehingga perlu bagi para Pemohon untuk membangun argumentasi guna membantah sikap MK atas norma yang diujikan pada perkara ini.
“Selama ini MK menolak, bagaimana permohonan dari ke-sebelas mahasiswa ini dikabulkan, karena pada permohonan ini lebih banyak menyebutkan klasifikasi Pemohon. Jadi yang diperkuat teori, asas, perbandingan, serta konvensi internasional untuk meyakinkan hakim antara posita dan petitum ada argumentasi yang kuat,” jelas Daniel.
Kemudian Hakim Konstitusi Arsul memberikan catatan terkait dengan pengujian Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 yang objeknya sama dengan permohonan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024. “Sehingga para Pemohon ini dapat mempelajari permohonan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang telah lebih dahulu melalui proses persidangan di MK,” terang Arsul.
Sementara itu Ketua MK Suhartoyo meminta agar para Pemohon menyempurnakan bagian petitum terhadap pasal yang dinyatakan inkonstitusional. Menurut Suhartoyo, semestinya tidak dinyatakan menghapuskan pasal yang dimaksud.
“Dalam permohonan ini hambatan disebutkan akibat dari frasa “rasa kebencian dan permusuhan” serta “masyarakat tertentu”, tetapi dalam petitum komulatif frasa yang dimintakan justru tidak konsisten. Perlu juga memperkuat legal standing yang sejatinya potensial dengan keberadaan para Pemohon sebagai mahasiswa ini,” sampai Suhartoyo.
Usai memberikan nasihat permohonan, Ketua MK Suhartoyo menyatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 17 Maret 2025 ke Kepaniteraan MK. Kemudian Mahkamah akan mengagendakan sidang lanjutan untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.(Rls)