Setiap tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, sebuah momen yang seharusnya menjadi pengingat bagi semua pemangku kekuasaan dan masyarakat tentang dampak besar dari korupsi. Di Indonesia, masalah ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Dari berita yang kita lihat di televisi hingga percakapan di warung kopi, kasus korupsi seakan tak pernah berhenti menghiasi berita. Mulai dari tingkat paling rendah seperti kepala RT hingga pejabat tinggi seperti menteri, korupsi telah meresap ke dalam berbagai lapisan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah kita bisa berharap untuk melihat budaya korupsi ini hilang dari Indonesia?
Korupsi sering kali dipicu oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Pertama, mari kita lihat aspek ekonomi. Banyak pegawai negeri yang gajinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, mereka mungkin merasa terpaksa mencari jalan pintas untuk bertahan hidup, termasuk melakukan praktik korupsi. Kedua, sistem yang ada juga berkontribusi pada masalah ini. Prosedur dan aturan yang berlaku sering kali membuat orang merasa terjebak dalam situasi yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan koruptif. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperbarui sistem yang sudah ada sejak zaman kolonial agar tidak lagi mendorong perilaku tersebut. Ketiga, keserakahan menjadi pendorong utama bagi banyak orang untuk terlibat dalam korupsi. Sifat tamak ini membuat individu tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Penting bagi kita untuk mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku korupsi agar mereka tidak lagi merasa bahwa tindakan mereka adalah hal yang wajar atau rasional.
Selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan stagnasi yang mengkhawatirkan. Skor IPK yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) pada tahun 2023 mencatat angka 34, sama seperti tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa selama hampir seluruh masa kepemimpinan Jokowi, Indonesia tetap berada di kisaran 30-an. Awalnya, di awal pemerintahannya, Indonesia sempat mencapai skor tertinggi sebesar 40, namun angka tersebut mengalami penurunan signifikan seiring berjalannya waktu. Salah satu penyebabnya adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuat posisi KPK menjadi lebih lemah dan berada di bawah pengaruh eksekutif.
Indeks Persepsi Korupsi adalah ukuran penting yang mencerminkan tingkat korupsi di sektor publik suatu negara. Skor rendah menunjukkan adanya masalah serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Data terbaru menunjukkan bahwa selama pemerintahan Jokowi, tidak ada pergerakan berarti menuju perbaikan. Bahkan jika kita melihat kembali ke tahun 2014 saat Jokowi mulai menjabat, skor IPK Indonesia saat ini kembali ke angka yang sama, yaitu 34. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya stagnan tetapi juga mengalami kemunduran yang signifikan.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap stagnasi ini adalah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 yang mengubah struktur dan kekuatan KPK. Lembaga ini kini beroperasi dalam batasan-batasan baru yang membatasi efektivitasnya dalam memberantas korupsi. Selain itu, tantangan lain muncul dari komitmen aparat penegak hukum terhadap pemberantasan korupsi itu sendiri. Beberapa kasus melibatkan pejabat tinggi menunjukkan bahwa integritas lembaga penegak hukum semakin dipertanyakan.
Kini, dengan tampuk kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto yang resmi dan tepat di tanggal 9 Desember 2024 genap 50 hari hari menjabat sebagai presiden, langkah apa yang akan diambil Prabowo untuk mengatasi masalah ini? Dalam kampanye sebelumnya, Prabowo berjanji untuk memberantas korupsi dengan menaikkan gaji pejabat sebagai salah satu solusinya. Namun, janji tersebut patut dipertanyakan mengingat beberapa menteri dalam kabinetnya memiliki catatan buruk terkait dugaan korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa beberapa anggota kabinet Prabowo pernah terlibat dalam kasus-kasus korupsi serius. Misalnya, Eddy Hiariej tersangkut dugaan suap dan Ario Bimo Nandito Ariotedjo namanya disebut dalam kasus proyek BTS. Dengan latar belakang tersebut, publik berhak mempertanyakan apakah Prabowo mampu membersihkan korupsi dari bumi pertiwi.
Prabowo sendiri mengakui bahwa korupsi merupakan masalah serius dan sering kali dianggap sebagai hal wajar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Ia menegaskan pentingnya melawan sikap menyerah terhadap ketidakbaikan ini. Namun, untuk mewujudkan janji-janji tersebut, Prabowo harus menunjukkan langkah konkret dan tidak hanya berpegang pada retorika belaka.
Keberhasilan Prabowo dalam memerangi korupsi sangat bergantung pada kemampuannya memilih menteri-menteri yang bersih dan kompeten serta menerapkan kebijakan efektif dalam pemberantasan korupsi. Jika ia berhasil melakukan hal ini, harapan untuk Indonesia yang lebih bersih dari praktik kotor tersebut bukanlah hal mustahil. Namun jika tidak, maka janji-janji itu bisa saja menjadi sekadar kata-kata tanpa makna.
Mari kita sama sama menyerukan bahwa hukuman bagi pelaku korupsi harus lebih berat dan mengubah cara pandang masyarakat terhadap tindakan koruptif. Misalnya, di negara lain, pelaku korupsi bisa menghadapi hukuman mati, sedangkan di Indonesia, kita bisa memiskinkan mereka sebagai alternatif hukuman.
Penulis : Zulkifli Surohamdani (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas)