Padang (UNAND) – Prof. Zainul Daulay, Guru Besar Hukum Universitas Andalas, menyoroti dampak kejahatan lingkungan terhadap masyarakat adat dalam seminar internasional yang berlangsung di Gedung Convention Hall, Kampus Limau Manis, Selasa (24/9).

Seminar bertema "Optimizing Collaboration in Mitigating and Eradicating Green Financial Crime in Indonesia Toward Indonesia Emas 2024" ini menghadirkan sejumlah narasumber, termasuk Dr. Rasio Ridho Sani (Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Fihtriadi Muslim (Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan PPATK), Tomika Patterson (Resident Advisor The US Department of Justice di Kedutaan Besar AS), serta Prof. Daulay sendiri.

Dalam paparannya, Prof. Daulay mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam hal deforestasi, setelah Brasil dan diikuti oleh Kongo.

Berdasarkan data yang ia miliki, pada tahun 2023, lebih dari 2,5 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Dampak dari kehancuran hutan ini tidak hanya menyentuh masalah pangan dan obat-obatan, tetapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat adat yang hidup di atas tanah tersebut. Mereka terjebak dalam kemiskinan, dan lebih parahnya lagi, kepercayaan mereka tercabut dari akarnya.

"Saat ini, kami mencatat adanya peningkatan hampir tiga kali lipat dalam kasus bunuh diri massal di kalangan masyarakat adat. Mereka frustasi karena tidak memiliki akses untuk menyuarakan penderitaan mereka, yang bukan hanya menyangkut masalah fisik, tetapi juga kebutuhan rohani," ungkapnya.

Prof. Daulay juga menyoroti kasus eksploitasi hutan di Pulau Siberut, Kabupaten Mentawai, yang terkenal akan keindahannya. Sejak tahun 1971, hutan di pulau ini telah dieksploitasi, dan hingga tahun 2003, lebih dari 49.440 hektar hutan berkurang untuk keperluan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata.

Ia menegaskan kejahatan lingkungan, termasuk pembabatan hutan dan aktivitas pertambangan, hampir seluruhnya terjadi di tanah adat masyarakat asli. "Ironisnya, mereka yang memiliki tanah tersebut justru hidup dalam kemiskinan, sementara pihak lain meraup keuntungan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap masyarakat adat sangat diperlukan," tambahnya.

Prof. Daulay juga menyoroti perlindungan hukum terhadap masyarakat adat yang menurutnya masih rendah. Meski pada tahun 2007 PBB telah mengamanatkan perlindungan terhadap masyarakat asli, pemerintah Indonesia belum menunjukkan konsistensi dalam kebijakan politiknya. "Sejak tahun 2010, undang-undang tentang perlindungan masyarakat adat telah dirancang, tetapi hingga kini belum disahkan oleh DPR," jelasnya.

Ia mengingatkan jika tidak ada tindakan nyata, tragedi kemanusiaan akan terus terjadi, termasuk peningkatan kasus bunuh diri di kalangan masyarakat adat akibat kehilangan lahan. "Bagi mereka, lahan bukan hanya sumber ekonomi dan kesehatan, tetapi juga sumber nilai religius. Tragedi kemanusiaan ini berarti pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh negara," tutup Prof. Daulay.

Humas, Protokoler, dan Layanan Informasi Publik