Dalam buku How Democracies Die tulisan Stevan Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019)  disebutkan bahwa demokrasi bisa mati karena kudeta atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah misal dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi, termasuk juga dengan mendominasi pencalonan dalam pemilihan. Juan Linz dalam tulisannya The Breakdown of Democratic Regimes (1978) lebih jauh juga menjelaskan peran dan prilaku politikus bisa memperkuat atau mengancam demokrasi. Kondisi ini bisa dilihat dari aspek berikut, yaitu : menolak aturan main demokrasi baik dengan kata-kata atau perbuatan, menyangkal legitimasi lawan, menoleransi atau menyerukan kekerasan dan menunjukkan kesedian membatasi kebebasan sipil. Disadari atau tidak kita sesungguhnya sedang menuju kemunduran demokrasi secara perlahan-lahan. Dalam konteks pemilihan kepala daerah atau pilkada di Indonesia, salah satu hal yang akan membawa demokrasi mati perlahan-lahan adalah munculnya fenomena kotak kosong dalam pilkada.

Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong kembali terjadi pada pilkada tahun 2024, walaupun fenomena kotak kosong ini bukan suatu hal yang baru, akan tetapi tetap mengejutkan masyarakat yang memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia. Kalau kita lihat dalam catatan sejarah, kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada 2015, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pilkada tetap dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon, dalam putusan tersebut, MK juga memberikan alternatif bagi pemilih dengan menambahkan kotak kosong sebagai pilihan dan semenjak itu kotak kosong menjadi fenomena yang terus berulang di beberapa Pilkada berikutnya, termasuk pada tahun 2017, 2018, dan 2020. Dilansir dari data KPU pertanggal 4 September 2024 ada 41 wilayah dengan satu pasangan calon alias akan memiliki lawan kotak kosong. Kondisi ini meningkat hampir 2 kali lipat dibandinkan pilkada tahun 2020 yang hanya berjumlah 25 calon tunggal lawan kotak kosong

Fenomena kotak kosong dalam pilkada ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, trend kotak kosong berdampak buruk pada masa depan demokrasi di Indonesia karena dengan adanya kotak kosong memperlihatkan minimnya kompetisi dan transparansi dalam pelaksanaan pilkada, kondisi ini menjadikan masyarakat tidak punya pilihan yang ideal dalam memilih pemimpin di daerah. Fenomena ini juga mencerminkan kegagalan sistem demokrasi yang sejatinya menghadirkan pilihan beragam bagi masyarakat dalam pemilihan umum. Demokrasi mestinya dipahami bukan hanya sebagai prosedural semata, melainkan sebuah sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil. Fenomena kotak kosong bukan hanya soal teknis politik, melainkan juga soal masa depan demokrasi Indonesia.

Pilkada secara langsung di Indonesia merupakan salah satu hasil dari perjuangan panjang amanat reformasi. Proses demokratis yang telah diperjuangkan dengan biaya mahal dan penuh tantangan kini terancam ‘dimanipulasi’ oleh elite politik dengan cara memborong dukungan partai-partai politik atas nama koalisi. Dan perlu kita ketahui bahwa demokrasi tercermin dalam aspek kompetisi, partisipasi, serta kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan dalam kontestasi politik termasuk kesempatan untuk menerima maupun menolak orang yang akan menjadi pemimpin dalam suatu daerah. Jadi ada indikasi bahwa para politikus hanya memikirkan kepentingan-kepentingan pragmatis semata hanya untuk mendapatkan suara terbanyak dalam pilkada, bukan mengarah pada Pendidikan politik dalam membangun demokrasi itu sendiri.

Kedua, kotak kosong mencerminkan dinamika politik yang kompleks, dimana partai-partai besar bersatu dalam satu koalisi sehingga hanya sedikit ruang bagi calon lain untuk maju, partai politik besar berkoalisi menguasai perpolitikan di tingkat lokal. Namun sesungguhnya di sisi lain juga memperlihatkan keterbatasan partai politik dalam mempersiapkan kader-kader partai yang berkualitas untuk bersaing dalam pilkada. Partai politik juga dianggap enggan untuk mencalonkan figur yang dianggap tidak memiliki peluang menang, dan masalah lainnya juga berpengaruhnya hasil pemilu nasional terhadap keputusan partai politik di tingkat daerah dengan memilih mendukung calon dengan peluang menang lebih besar (popularitas) dibandingkan dengan mencalonkan kader partai sendiri.

Pilkada yang diharapkan menjadi pintu masuk bagi munculnya kepemimpinan berkualitas di daerah kini sedikit-sedikit mulai berubah menjadi permainan kekuasaan yang kental dengan pragmatisme dengan mengabaikan prinsip-prinsip etik dan moral demi mencapai tujuan kemenangan. Kotak kosong bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk menjaga status quo kekuasaan yang ada dengan memastikan tak ada pesaing serius yang muncul atau kalaupun ada calon lain yang muncul itu hanya semata-mata sebagai calon ‘boneka’ saja.

Dampak Fenomena Kotak Kosong terhadap Demokrasi

Trend kotak kosong tentu saja akan berdampak terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, ada berapa dampak yang akan ditimbulkan dalam fenomena kotak kosong ini : Pertama, mengurangi kualitas dari demokrasi itu sendiri. Dengan calon tunggal masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memilih pemimpin di daerah, kondisi ini memaksa masyarakat memilih pasangan calon yang ada atau justru mereka akan memilih kotak kosong. Kalau pilihannya adalah kotak kosong ini mendindikasikan bahwa masyarakat tidak percaya dengan pasangan calon yang ada. Gerakan perlawanan konstitusional atas kehadiran calon tunggal bisa dilakukan oleh masyarakat hanya dengan memilih kolom kotak kosong pada surat suara.

Kedua,menurunya tingkat partisipasi dalam pemilih. Masyarakat akan malas datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, karena terbatasnya pilihan yang ada, apalagi ada indikasi bahwa calon tunggal tersebut dianggap sebagai calon yang pro status quo dengan partai pengusung yang pro dengan rezim yang berkuasa, masyarakat akan menganggap suara mereka sia-sia, karena calon yang menang sudah ditentukan dengan proses yang ‘dimanipulasi’, dengan kondisi ini tentu saja pilihan masyarakat tidak akan datang ke TPS untuk memberikan suara mereka. Semakin rendah tingkat partisipasi mengindikasikan legitimasi pemimpin yang terpilih juga rendah dan ketika legitimasi pemerintah terpilih rendah, masyarakat akan cederung tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan, keterlibatan masyarakat menjadi rendah dalam mengontrol jalannya pemerintahan, ini akan melahirkan pemimpin yang otoriter dan tanpa kontrol di daerah.

Ketiga, memperkuat oligarki partai politik. Dengan alasan koalisi untuk kepentingan bersama, partai-partai besar bisa  mengontrol dan mengendalikan proses pencalonan sehingga elite partai politik bisa mempertahankan kekuasaan dan menghindari calon-calon potensial dalam pilkada. Di samping itu, kaderisasi partai politik juga menunjukkan tidak berjalan dengan maksimal, karena partai politik lebih melihat calon yang tingkat popularitas tinggi dan memiliki modal sosial, politik dan ekonomi yang tinggi dalam mengikuti kontestasi dalam pilkada.

Antisipasi Fenomena Kotak Kosong ke depan

Meski keberadaan calon tunggal punya landasan hukum, tetap saja kontestasi pilkada harus didorong untuk menyediakan banyak alternatif pilihan kepada masyarakat, masyarakat harus diberikan pilihan-pilihan alternatif dalam memilih pemimpin yang dianggap terbaik di daerah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk antisipasi fenomena kotak kosong ke depan, yaitu: pertama, menurunkan presentase syarat minimal dukungan bagi calon perseorangan, karena syarat dukungan untuk maju melalui partai politik sudah diturunkan dengan adanya putusan MK, maka seharusnyan persentase pengajuan untuk calon perseorangan juga perlu dipertimbakan untuk diturunkan, supaya ketika proses pencalonan tersendera oleh kepentingan partai politik yang pragmatis, alternatif calon perseorangan menjadi pilihan bersaing dengan calon dari parpol. Kedua, partai politik harus menjadikan kader mereka sebagai kader yang berkualitas, mumpuni dan dikenal secara luas oleh masyarakat yang siap mengikuti pilkada, oleh sebab itu partai politik harus menjadikan pendidikan politik sebagai fungsi utama di partai politik, partai politik harus hadir ditengah-tengah masyarakat secara terus menerus, tidak hanya ada sesaat akan dilaksanakannya pemilu.(sudah tayang pada di Padeks tanggal 9 September 2024)

Penulis : Dewi Anggraini Ketua Program Studi S1 Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas