Bagaikan petir di siang bolong yang mengejutkan banyak orang. Bagaimana mungkin tidak, hal yang cukup menarik perhatian publik yang baru saja diputuskan oleh Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) tentang pengabulan permohonan batas usia kepala daerah. Sebagai sebuah lembaga peradilan tertinggi di Indonesia yang termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang berbunyi “Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”. Setiap Keputusan MA sangat berpengaruh kepada sistem hukum suatu negara.

MA memiliki peran penting dalam mengambil Keputusan dalam tatanan sistem hukum Indonesia. MA yang baru-baru ini mengeluarkan putusan terkait batas usia pencalonan peserta pilkada yang mengakibatkan putusan ini menuai banyak polemik dari berbagai pihak yang merasa dirugikan. Wewenang yang dimiliki MA yang seharusnya mengkaji materi regulasi yang berada dibawah UU terhadap UU dirasa tak sesuai lagi dengan fungsinya pasalnya kali ini MA mengikuti jejak MK. Adanya elemen lain yang berusaha mengkapitalisasikan kepentingan politik selanjutnya. Tentunya ini menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi masyarakat, aturan hukum disesuaikan dengan kepentingan tertentu. Hal seperti ini tidak boleh diidahkan begitu saja sebab nantinya akan meninggalkan jejak buruk untuk masa mendatang. Meritokrasi yang harus ditanamkan Kembali dan tidak boleh ditinggalkan oleh Indonesia. Kesetaraan yang berkadilan sangat penting dinegara hukum seperti Indonesia, karena itu perlu adanya penerepakan sistem meritokrasi di negara supermasi hukum ini.

Indonesia sebagai negara hukum sudah seharusnya menjunjung tinggi adanya nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebudayaan yang hidup di masyarakat. Berbagai macam peraturan perundang-undangan yang dibuat haruslah mewakili kemanfaatan,keadilan, dan kepastian hukum bagi masyarakat tetapi keadaan yang terjadi dinegara saat ini justru menjadikan hukum hanya sebagai simbol negara. Keberadaan hukum yang adil sudah sepatutnya di pertanyakan oleh rakyat Indonesia jikalau dilihat dari rezim saat ini.

Pada 10 Mei 2024, Mahkamah Agung (MA) secara resmi mengabulkan permohonan uji materiil terkait batas usia minimal bagi calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun. Keputusan ini berawal dari MA yang mengabulkan permohonan ketua umum partai garuda perubahan Indonesia (Garuda) Ahmad Ridha Sabana, dan melakukan uji coba terkait aturan batas minimal usia calon gubernur dan calon wakil gubernur (uji materi terhadap komisi pemilihan umum). Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan bahwa batas usia 30 tahun dianggap lebih sesuai untuk memastikan calon memiliki kematangan , pengalaman, dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk memimpin daerah.

Namun sayangnya pada realita yang ada, putusan MA  No.23 P/HUM/2024 atas uji materil peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) No.9 tahun 2021 tentang perubahan keempat atas PKPU No.3 tahun 2017 tentang pencalonan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau walikota dan wakil Walikota mendapat kritikan dari berbagai pakar hukum tata negara. Selain waktu memutuskan usia calon peserta pilkada yang terbilang singkat Keputusan ini juga dianggap sebagai karpet merah bagi putra presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk maju di pilkada 2024. Pasalnya Keputusan MA ini memiliki kesamaan dengan putusan MK Nomor 90 tentang  batas usia capres-cawapres yang meloloskan kakak laki-laki Kaesang, Gibran Rakabuming  Raka sebagai kandidat wakil presiden dari Prabowo Subianto presiden terpilih 2024. Kemiripan Keputusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menjelang konstenstasi politik ini berusaha menjadikan lembaga negara sebagai boneka politik bagi siapa saja yang berkuasa di suatu negara. Hal ini membuat masyrakat tidak lagi percaya dengan hukum yang ada di Indonesia. Suatu ironi tentunya apabila negara demokrasi ini telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat akan pemerintahan.

Bukan suatu kebetulan belaka yang terjadi begitu saja tentunya terkait pengabulan permohonan batas usia calon kepala daerah ini. Sebab terdapat berbagai kejanggalan sepanjang putusan tersebut dibacakan oleh hakim dalam amarnya di persidangan. Mulai dari waktu pengabulan permohonan yang berdekatan dengan momen pemiilhan kepala daerah, berlanjut pada proses putusan oleh MA ini hanya memerlukan waktu tiga hari sejak didistribusikan pada 27 Mei 2024 dan diputus pada 29 Mei 2024 kemarin, lalu kewenangan MA dianggap telah melampaui batas wajar dan keluar dari jalur yang seharusnya.

Apakah begitu mendesak dan sudah bijak bagi Hakim sebagai aparat penegak hukum dalam memutuskan permohonan tersebut disaat seperti ini? Tentunya buah dari hasil putusan ini akan menimbulkan berbagai reaksi yang membuat masyarakat muak. Para penguasa dan elit politik juga akan mengambil celah terkait adanya ketidakpastian hukum untuk dijadikan keuntungan dikalangan mereka dalam berkontestasi di Pemilihan umum kepada daerah pada bulan November 2024 nanti.

Penulis : Aqila Fadya Hayya (Mahasiswa FISIP universitas Andalas)