Padang (UNAND) - Pakar gempa Universitas Andalas Dr. Ir. Badrul Mustafa, DEA angkat bicara tentang gempa yang terjadi di Turkiye tanggal enam Februari yang lalu. Gempa yang memiliki kekuatan 7,8 magnitudo diikuti gempa ke dua 7,4 magnitudo adalah sebuah gempa yang besar yang menimbulkan intentitas MMI yang juga besar. Gempa ini terjadi akibat pergeseran mendatar dari patahan Anatolia. Patahan geser atau istilahnya strike-slip itu kalau di darat dapat menimbulkan kerusakan yang besar karena dekatnya dengan pemukiman. Hal tersebut dipaparkan oleh alumni ITB dan Perancis ini.
Turki dilewati dua patahan besar yaitu patahan Anatolia Utara dan patahan Anatolia Timur. Ada tiga lempeng yang berintekrasi secara kompleks yaitu lempeng Anatolia, lempeng Arabia dan lempeng Eurasia yang sangat besar. Lempeng Antolia dan Arabia ini ukurannya sedang tetapi di situ terdapat wilayah turki yang diapitnya atau yang berada di antara tiga lempeng yang berinteraksi. Hasil interaksi dari ketiga lempeng yang bergerak ini muncullah patahan besar atau patahan Anatolia Utara dan Anatolia Timur. Keduanya telah menimbulkan gempa-gempa besar sepanjang sejarah di turki ini.
Pada tahun 1939 ketika terjadi gempa pada daerah patahan ini, kerusakan yang timbul begitu masif, dengan korban mencapai 30 ribu jiwa meninggal dunia. Kemudian pada tahun 1999 juga terjadi gempa dengan korban jiwa 17 ribu jiwa. Gempa yang baru saja terjadi ini, sementara korban jiwanya sekitar 12 ribu orang.
"Berdasarkan catatan sejarah terlihat bahwa gempa di darat yang ditimbulkan oleh patahan geser dengan kedalaman yang sangat dangkal dapat menyebabkan kerusakannya sangat besar. Gempa disebut dangkal jika pusat gempa itu berada pada nol sampai 60 kilometer di bawah permukaan. Gempa yang terjadi di Turkiye itu bukan disebut dangkal lagi, tapi sangat dangkal", lanjut Badrul.
Banyaknya korban yang timbul baik yang meninggal dunia maupun yang luka-luka itu disebabkan oleh runtuhnya bangunan tempat tinggal. Bangun itu diketahui adalah bangunan-bangunan tua. Bahkan ada satu kastil yang rubuh yang usianya sudah 2.200 tahun. Rata-rata bangunan yang rubuh ini dibangun sebelum adanya building code atau aturan aman gempa.
Saat ini di setiap Negara yang memiliki potensi gempa dibuat peraturan aman gempa atau building code yang sering di revisi dan diperbarui.
Kondisi Patahan di Sumatera
Dijelaskan lebih lanjut oleh Badrul, di Sumatera juga ada patahan yang sejenis yaitu yang disebut dengan sesar atau patahan semangko. Keberadaan sesar ini mulai dari Aceh sampai ke Lampung, juga melewati Sumatera Barat. Terdapat 19 sampai 21 segmen pada sesar semangko ini. Segment yang ada di Sumatera Barat adalah di antara yang paling aktif. Sehingga kejadian gempa banyak yang terjadi di Sumatera Barat. Pergerakan patahan mendatar semangko ini menimbulkan gempa yang terjadi pada bulan Februari tahun lalu.
Adanya potensi gempa yang diakibatkan oleh pergeseran mendatar ini khususnya di Sumatera Barat menjadi catatan agar kita melakukan mitigasi dan usaha untuk mengurangi kerugian.
"Kita harus berusaha menekan potensi kerugian baik jiwa maupun harta benda. Umumnya kejadian yang menimbulkan korban jiwa baik meninggal maupun luka luka adalah runtuhnya bangunan. Jadi penting sekali mitigasi pada struktur sebuah bangunan", imbuhnya.
Terkait dengan hal itu, guru besar teknik sipil UNAND Prof. Rendy Thamrin mengungkapkan struktur bangunan harus disesuaikan dengan standar atau peraturan aman gempa yang sudah dikeluarkan oleh badan standar Badan Standardisasi Nasional. Gempa sampai sekarang belum dapat untuk diprediksi dengan tepat. Karena itu mitigasi struktural pada bangunan mutlak harus dilakukan. Pada bangunan yang sudah ada sebelum adanya aturan building code harus dilakukan esesmen untuk menilai apakah kekuatannya masih 100 % atau sudah berkurang. Jika telah berkurang banyak, maka harus dilakukan perkuatan atau retrofitting, terutama gedung untuk kepentingan orang banyak seperti pasar, rumah sakit, mall dan lain lain.
Rendy Thamrin selanjutnya menjelaskan bahwa dalam konteks ini, pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa evaluasi kinerja seismik dan inventarisasi dari bangunan yang ada merupakan hal yang sangat penting.
"Evaluasi ini harus dimulai di tingkat komunitas terkecil seperti tingkat risiko seismik dari rumah-rumah dan gedung-gedung yang digunakan oleh masyarakat", imbuh Guru besar Alumni Teknik Sipil UNAND ini.
Untuk menentukan tingkat risiko, diperlukan evaluasi seismik dari rumah-rumah dan gedung-gedung yang ada. Pekerjaan ini harus mencakup penggunaan teknik pemodelan, pemantauan dan penilaian untuk menentukan bangunan yang tidak memenuhi tingkat risiko seismik.
Perkuatan rumah dan bangunan yang tidak sesuai dengan tingkat risiko seismik merupakan prioritas bagi pemerintah, tidak hanya di daerah rawan gempa, tetapi juga di daerah dengan tingkat kegempaan sedang.
"Rehabilitasi ini harus mempertimbangkan efisiensi teknik perkuatan atau mitigasi bencana secara fisik, serta kinerja dari bangunan yang direhabilitasi untuk memfasilitasi keberlanjutan dari pemakaian bangunan tersebut dilingkungan masyarakat kita", ungkap peraih gelar Doctor of Engineering dari Toyohashi University of Technology Jepang ini.
Humas dan Protokol UNAND