Padang (UNAND) – Merespon perubahan sosial masyarakat yang semakin gayut dengan dunia digital, Antroplogi sebagai bidang ilmu dituntut untuk beradaptasi atas berbagai perubahan tersebut.

Hal itu, diungkapkan langsung oleh ketua Panitia Dr. Sri Setiawati MA pada Seminar Nasional dan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Departemen atau Jurusan Antropologi Seluruh Indonesia (ADJASI) mengusung tema Kebudayaan dan Digital, Senin (25/9) yang berlangsung di Hotel The ZHM Premiere yang dihadiri perwakilan departemen dan Prodi Antropologi dari berbagai universitas di Indonesia.

Beberapa delegasi universitas yang hadir di antaranya Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Negeri Medan, Universitas Malikusaleh, UGM, Airlangga, Udayana, Universitas Brawijaya, Universitas Cendrawasih, Universitas Papua, Universitas Samratulangi, Universitas Hasanuddin dan lainnya. 

Menghadirkan Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid, Ph. D sebagai Keynote Speaker dan tiga pembicara dari tiga universitas ternama di Indonesia yakni Prof. Irwan Abdullah (Universitas Gadjah Mada), Dr. Tasrifin Tahara (Universitas Hasanuddin), Prof. Nursyirwan Effendi dan Prof. Erwin (Universitas Andalas).

Ia berharap kegiatan ini dapat mendorong akademisi dan peniliti dalam mengembangkan bidang kajiannya, mendesiminasikan temuan dan mempublikasikan hasil penelitiannya, serta mendukung pengayaan paradigma dan metodelogis pada bidang keilmuan antropologi.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan mengungkapkan ada tantangan tersendiri ketika mempelajari dunia digital yang saat ini, karena begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ia yakin setiap kita terhubung dua (2) atau lebih perangkat digital seperti smartphone, computer, smarttv, laptop yang semua itu membuat kita immerse ke dalam dunia digital.

“Namun, saat besamaan pengetahuan kita terhadap dunia digital secara teknis masih terbatas, dan ini penting upaya untuk mengenalkan kebudayaan dunia digital itu sendiri,” sambungnya.

Dikatakannya, ada 212 juta masyarakat terhubung dengan internet, medsos 167 juta penguna dari berbagai platform seperti facebook, instagram, WA artinya saat ini setiap orang bisa mengikuti perkembangan yang terjadi betul-betul realtime.

Di samping itu, ia menyampaikan lebih dari 34 persen remaja memiliki masalah mental, sebagian sudah pada taraf gangguan mental dan ini merupakan dampak teknologi digital terhadap kehidupan sosial budaya.

Problem saat ini, dikatakannya kita belum punya mekanisme yang handal untuk menangani masalah ini semua. Lebih lanjut, Hilmar mengungkapkan dari 34 % itu hanya 2,6 % yang mendapatkan layanan konseling padahal masalah ini terus bertambah setiap harinya tetapi belum punya mekanisme yang efektif untuk menangani persoalan yang muncul.

Berhadapan dengan sesuatu soal yang sangat serius, Ia berharap seminar ini bisa membahas lebih mendalam, membuka percakapan terkait langkah-langkah strategis.

Hilmar mencoba berkontribusi dengan menyampaikan beberapa list strategi kebudayaan diantaranya perlu ada Pendidikan universal terhadap teknologi digital, termasuk literasi media menghadapi hoax, propaganda dan disinformasi.

Lalu, pengakuan dan pelestarian budaya lokal, dokumentasi dan perlindungan kekayaan intelektual, pengembangan teknologi etis, komunitas dan dukungan sosial, serta kesehatan mental.

Sementara itu, Rektor Universitas Andalas Prof. Yuliandri menyampaikan pengembangan substansi keilmuan bidang antropologi itu adalah bahagian yang secara akademik merupakan tanggung jawab bersama.

Selain itu, ia juga mengungkapkan ada satu tantangan yang dirasakan terutama dari kalangan perguruan tinggi yang menerima mahasiswa dari berbagai jalur khususnya Departemen atau Prodi Antropologi.

“Melalui kurikulum merdeka siswa tidak lagi diukur kompetensinya terkait apa yang dipelarinya ketika di SMA atau sederajat, mereka tidak lagi terikat jurusan IPS mesti memilih Soshum akan tetapi boleh lintas jurusan yang dikenal dengan merdeka bertanggung jawab,” pungkasnya(*)

Humas, Protokoler dan Layanan Informasi