Padang (UNAND) - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas, Prof. Syafruddin Karimi, menilai bahwa pendekatan kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Timur Tengah bukanlah upaya menciptakan perdamaian, melainkan bagian dari proyek geopolitik besar yang mengarah pada ekspansi kolonialistik bersama Israel.

“Stabilitas yang dibangun Trump di Timur Tengah tampak efektif secara militer dan diplomatik, tetapi pada dasarnya adalah stabilitas semu yang menutup mata terhadap ketidakadilan struktural dan pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Prof. Syafruddin pada Senin (30/6).

Ia menjelaskan bahwa Trump memformulasikan kebijakan luar negerinya dengan pendekatan transaksional dan langsung. Dalam konteks konflik terbaru yang melibatkan Iran, Israel, dan Amerika Serikat, pendekatan ini melahirkan pola yang disebut sebagai Trump Doctrine.

“Ketika Israel menyerang fasilitas nuklir Iran dan Teheran membalas dengan rudal, Trump merespons dengan menghancurkan tiga fasilitas nuklir Iran. Dua hari kemudian, ia mendeklarasikan gencatan senjata dan mengundang Iran kembali ke meja perundingan. Dunia menyebutnya zig-zag, tapi bagi Trump, itu strategi,” terang Prof. Syafruddin, mengutip analisis J.D. Vance dan Kroenig yang menyebut kebijakan tersebut sebagai ‘eskalasi untuk de-eskalasi’.

Namun menurutnya, di balik narasi stabilitas jangka menengah yang diklaim Trump, terdapat agenda yang lebih gelap: realisasi visi Israel Raya atau Greater Israel, dengan dukungan penuh Washington dan restu diam-diam dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan UEA.

“Dukungan diam-diam negara Teluk terhadap serangan AS ke Iran menunjukkan bahwa konflik sektarian dan ketegangan regional dimanfaatkan untuk memperluas dominasi AS dan Israel. Selama Iran dilemahkan dan pengaruhnya dikerdilkan, elite Teluk bersedia menoleransi bahkan kekejaman yang terjadi di Gaza,” tambahnya.

Prof. Syafruddin juga menyoroti normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab yang menurutnya merupakan langkah sistematis menuju aneksasi penuh atas wilayah Palestina. “Israel Raya bukan lagi mitos sayap kanan, tapi kenyataan politik yang dilegalkan melalui pembangunan permukiman ilegal dan kebijakan negara-bangsa Yahudi,” jelasnya.

Ia mengkritik sikap pasif komunitas internasional terhadap pembantaian di Gaza. “Mahkamah Internasional dibungkam oleh tekanan dan veto, anak-anak Palestina tewas tapi tak ada embargo atau sanksi. Jika Iran menyerang satu fasilitas, ia disebut teroris. Tapi jika Israel hancurkan satu kota, disebut membela diri,” ucapnya dengan nada prihatin.

Mengakhiri pandangannya, Prof. Syafruddin menyatakan bahwa “stabilitas tanpa keadilan adalah ilusi”. Menurutnya, dunia harus memilih antara stabilitas semu yang lahir dari dominasi kolonialistik, atau perdamaian sejati yang dibangun atas dasar keadilan dan kesetaraan.

“Jika dunia terus memilih stabilitas yang berpihak pada penindas, jangan heran bila ledakan berikutnya lebih dahsyat karena luka hari ini akan berubah menjadi dendam esok hari,” pungkasnya.

Humas, Protokol, dan Layanan Informasi Publik