Momentum Agustus 2023 perlu diingat sebagai waktu di mana negara ini telah dijalankan selama 21 tahun berdasarkan konstitusi hasil amandemen. UUD 1945 hasil perubahan dibangun atas paham konstitusionalisme berbasis prinsip pemisahan kekuasaan, kekuasaan dibatasi oleh hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal itu diwujudkan dengan penerapan prinsip checks and balances di mana semua lembaga negara ditempatkan dalam posisi yang setara, sehingga satu sama lain dapat saling mengawasi. Pilihan itu didasarkan atas kenyataan sejarah buram masa lalu akibat praktik pemerintahan otoriter yang disebabkan adanya kekuasaan yang tidak terbatas.
Kekuasaan tak terbatas itu dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara. Sebagai lembaga tertinggi, MPR membawahkan lembaga-lembaga negara lainnya dengan kewenangan yang amat besar. MPR memiliki wewenang mengubah dan menetapkan UUD, memilih dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden, dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Desain kelembagaan yang demikian disusun oleh para pendiri negara berbasis semangat baik penyelenggaraan negara. Para penyusun konstitusi pertama berpikir bahwa semua orang yang akan menyelenggarakan negara adalah orang baik, orang yang memegang dan menjalankan kekuasaan untuk kepentingan rakyat, serta tidak akan menyalahgunakannya.
Perjalanan sejarah justru membuktikan bahwa asumsi dasar para pendiri negara tidak sepenuhnya tepat. Pendiri negara sepertinya membayangkan bahwa generasi penerus yang mengendalikan kekuasaan negara akan bersikap seperti mereka yang selalu meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan kelompok dan dirinya sendiri. Pendiri negara agaknya juga membayangkan bahwa penyelenggaraan negara setelah generasi mereka akan selalu bertindak lurus dan rela hidup susah seperti yang mereka lakukan. Ternyata, perjalanan sejarah bangsa justru ke arah berbeda dari yang beliau-beliau bayangkan. Artinya, pikiran positif pendiri negara soal niat baik penyelenggara negara sulit ditemukan dalam pelaksanaannya.
Kenapa demikian? Fitrah kekuasaan memang potensial disalahgunakan. Kekuasaan itu cenderung korup dan semua orang yang memegang kekuasaan selalu berpotensi menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Oleh karena itu, siapa pun yang sedang memikul beban mengendalikan atau menjalankan kekuasaan negara, ia mesti berhati-hati untuk tidak terjebak pada praktik penyelenggaraan negara yang korup. Setiap orang yang melaksanakan kekuasaan mesti selalu berpikir dan mendedikasikan kuasanya untuk kepentingan rakyat. Bila tidak, ia akan masuk ke lubang hitam penyalahgunaan kekuasaan dan tanpa malu melakukan korupsi untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya.
Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas penyalahgunaan kekuasaan, sistem ketatanegaraan tentu tidak bisa dibangun hanya atas dasar semangat baik penyelenggara negara semata. Sistem ketatanegaraan harus dibangun berbasis desain kelembagaan negara yang dapat memperkecil peluang penyalahgunaan kekuasaan. Bentuknya, setiap organ pemegang kekuasaan mesti dapat diawasi. Setiap kekuasaan harus dapat diimbangi oleh kekuasaan lainya. Dengan jalan itu, siapa pun yang akan terpilih menjadi pemegang kekuasaan, potensinya untuk melakukan penyalahgunaan dapat diperkecil.
Berangkat dari pemikiran itulah para pengubah konstitusi pada 1999-2002 menyusun sejumlah kesepakatan dasar perubahan UUD 1945, salah satunya memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Pilihan memperkuat sistem presidensial didasarkan atas keyakinan bahwa prinsip demokrasi, negara hukum dan stabilitas pemerintahan hanya mungkin diwujudkan dengan memperkuat sistem ini. Pilihan memperkuat sistem presidensial berkonsekuensi terhadap penerapan prinsip pemisahan dan perimbangan kekuasaan. Perimbangan kekuasaan hanya dapat dilaksanakan jika tidak ada lagi lembaga negara yang posisinya lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya. Pada akhirnya, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi pun direposisi sehingga lembaga berkedudukan setara dengan lembaga negara lainnya dalam UUD 1945 hasil perubahan.
Setelah berjalan lebih kurang 21 tahun, Ketua DPD menyampaikan wacana untuk mengembalikan posisi MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Sebagaimana diberitakan sejumlah media massa, Ketua DPD menyampaikan bahwa Sidang Paripurna DPD tanggal 14 Juli memutuskan untuk menawarkan proposal kenegaraan untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan diberi wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat yang sama, MPR juga kembali akan diberi wewenang menerbitkan Ketetapan-ketetapan sebagai produk hukum sebagai rujukan dalam penyelenggaraan negara.
Bila benar wacana tersebut berbasis keputusan sidang DPD, artinya institusi ini tengah memimpikan sistem ketatanegaraan masa lalu yang telah ditinggalkan. Tidak begitu jelas apa basis argumentasi yang digunakan dalam mengusung wacana ini. Apakah disampaikan ke publik setelah melalui proses pengkajian yang mendalam atau sebatas pemikiran spontan yang belum didasarkan perenungan sejarah kelam praktik ketatanegaraan masa lalu? Pertanyaan ini muncul karena apa yang diusung DPD hari ini berbeda dengan apa yang disuarakan sekitar 10 tahun lalu. Ketika itu, DPD juga menyampaikan proposal perubahan kelima UUD 1945, namun bukan untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan untuk menyempurnakan prinsip checks and balances dan penerapan konsep strong bicameralism dalam hubungan antara DPR dan DPD.
Walaupun wacana yang disampaikan ketua DPD tidak sejalan dengan sikap DPD sebelumnya, namun apa yang disampaikannya sejalan dengan beberapa pernyataan sejumlah elit politik yang menghendaki agar MPR kembali diberi wewenang mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur, paling tidak menetapkan GBHN yang diganti nama dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Perkembangan ini dapat dibaca sebagai realitas kehendak elit politik untuk mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Artinya, wacana DPD bukan sekedar wacana, namun telah menjadi gerakan politik elit untuk mendorong agenda perubahan UUD 1945 guna mengembalikan sistem ketatanegaraan pada kerangka yang pernah diterapkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Mimpi Buruk Ketatanegaraan
Menguatnya keinginan elit untuk mengubah sistem ketatanegaraan dengan kembali ke desain masa lalu merupakan pertanda tidak baik bagi masa depan Indonesia. Jika betul-betul direalisasikan, segala pengalaman buruk ketatanegaraan tempo dulu akan kembali menghantui perjalanan bangsa ini ke depan. Manipulasi kekuasaan MPR akan kembali terjadi. MPR akan dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaan bagi orang yang ingin berkuasa tanpa batas waktu. Stabilitas politik tidak lagi akan didasarkan atas kepastian hukum yang diberikan konstitusi, melainkan tergantung kehendak politik MPR. Pada gilirannya, prinsip negara hukum sebagaimana diadopsi dalam UUD 1945 pun tidak akan ada gunanya.
Pada aras yang lebih operasional penempatan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi akan menimbulkan sejumlah dampak. Pertama, sistem presidensial akan kembali berganti dengan sistem semi presidensial, di mana Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Proses pemilihan di MPR sangat potensial dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga siapa pun yang dapat mengendalikan anggota-anggota MPR, maka ia akan dapat berkuasa sesuka hatinya. Sejalan dengan itu, rakyat pun tidak lagi punya akses dalam menentukan siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi lembaga yang mandiri untuk menegakkan hukum dan keadilan, melainkan ia akan berada di bawah pengaruh elit politik. Dalam konteks ini, pelaku kekuasaan kehakiman akan tunduk pada kehendak politik MPR sebagai lembaga yang membawahkannya, bukan kehendak konstitusi. Ketiga, MPR akan memiliki wewenang menyusun dan menerbitkan produk hukum yang sama sekali tidak dapat diawasi dan diuji. Apa pun yang diputuskan MPR, terlepas apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak, ia tidak akan dapat dikontrol oleh siapa pun. Keempat, hak asasi manusia warga negara tidak lagi akan terjamin dengan baik, karena kekuasaan tanpa batas tidak akan mampu menjamin eksistensi hak dan kebebasan dasar warga negara.
Dampak ketatanegaraan yang demikian bukanlah asumsi, melainkan refleksi pengalaman masa lalu ketika MPR diletakkan sebagai lembaga tertinggi negara. Apakah elit-elit politik hari ini ingin kembali ke masa lalu yang kelam itu? Apakah elit politik ingin negeri ini kembali terjerembab ke dalam praktik otoritarisme dan ketidakpastian perlindungan hak-hak asasi manusia? Kenapa pilihannya harus kembali ke sistem di mana bangsa ini telah gagal berkali-kali dalam melaksanakannya? Bukankah problem mendasar bangsa ini adalah soal konsistensi elit politik untuk mematuhi konstitusi, dan bukan soal sistem ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 hasil perubahan? Lalu, kenapa UUD 1945 yang hendak diubah dengan tujuan mengembalikan desain kelembagaan negara yang terbukti gagal?
Mestinya para elit politik fokus pada bagaimana menjalankan mandat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berbasis tata kelola negara hukum yang demokratis. Tidak perlu menggaruk yang tidak gatal karena justru akan menimbulkan dampak buruk bagi ketatanegaraan Indonesia yang sudah pada jalurnya. UUD 1945 memang tidak sempurna dan masih membutuhkan perbaiki. Hanya saja, jika konstitusi ini hendak diubah hanya untuk mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebaiknya niat dan proposal itu diurungkan. Jangan korbankan masa depan republik demokratis ini hanya sekedar untuk mengakomodasi nostalgia para elit yang mulai lupa dengan sejarah perjalanan bangsa. (*) Sudah Terbit Pada Media Indonesia pada 14 Agustus 2023, Penulis : Khairul Fahmi Dosen Departemen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Penulis : Dr. Khairul Fahmi (Dosen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas)
Humas, Protokoler dan Layanan Informasi Publik