Kelestarian lingkungan merupakan isu global yang penting dan tidak dapat disangkal. Meningkatnya angka bencana alam, krisis air bersih, pemanasan global, menipisnya cadangan energi, dan masalah lingkungan lainnya merupakan persoalan yang semakin mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Mari kita ambil contoh tentang masalah energi. Menurut data MAHB Stanford (kumparan.com, 16 juli 2021), cadangan minyak dunia hanya bertahan hingga tahun 2052, cadangan gas dunia cadangan gas dunia hingga tahun 2060, dan cadangan batu bara dunia hingga tahun 2090.
Melihat hal tersebut, berarti dalam waktu yang kurang dari 70 tahun, dunia akan menghadapi krisis energi yang dapat mengancam kehidupan manusia menjadi hancur berantakan. Tidak bisa dibayangkan jika kehidupan manusia tidak ada bahan bakar untuk transportasi, tidak ada gas untuk memasak, dan tanpa batu bara untuk menghasilkan listrik. Jelas hal ini sangat mengerikan bagi kehidupan manusia.
Satu kehendak politik kuat tentu diperlukan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengatasi krisis lingkungan. Adapun kehendak politik tersebut hanya dapat diwujudkan jika ada partai-partai politik yang memperjuangkan isu-isu dan mewakili kepentingan lingkungan.
Sayangnya di Indonesia sendiri, kesadaran lingkungan sistem politik belum begitu kuat. Parpol-parpol yang ada jarang mengangkat isu lingkungan. Mereka selalu mengedepankan isu ekonomi dan kesejahteraan sebagai “bahan jualan” untuk meraih posisi di pemerintahan.
Memang isu ekonomi itu penting, tetapi isu lingkungan jauh lebih krusial. Sebab, jika lingkungan rusak kita tidak akan punya planet lain untuk dijadikan sebagai tempat tinggal mengingat kita hanya punya satu bumi. Namun, tetap saja isu lingkungan masih dianggap “barang mahal” ketimbang isu-isu harga bahan pokok, subsidi energi, dan lain sebagainya.
Padahal, partai yang mengusung isu politik lingkungan atau politik hijau merupakan keniscayaan filosofis. Merujuk Johanna Oksala (Political Philosophy, 2013, hal 26-27), inti dari politik adalah bagaimana semua elemen dalam kehidupan bisa terwakili dalam proses pembuatan kebijakan guna meraih kebahagiaan dan kebajikan moral. Mengingat lingkungan tidak bisa berbicara dalam bahasa manusia supaya manusia itu mengerti, maka inti politik secara lebih jauh harus melibatkan kemauan manusia untuk membela kepentingan lingkungan yang tidak mampu mewakili diri mereka sendiri.
Oleh sebab itu, penerepan politik lingkungan menjadi keniscayaan filosofis dalam rangka membela kepentingan lingkungan yang tidak bisa berbicara mewakili kepentingan mereka sendiri. Politik lingkungan juga niscaya secara sosiologis karena krisis lingkungan yang parah akan mengancam eksistensi manusia apabila tidak ditangani secara baik melalui kebijakankebijakan politik.
Negara-negara maju tampaknya memehami hal ini. Banyak parpol di negara-negara maju tersebut sudah menerapkan politik lingkungan dengan mengampanyekan agenda perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Rasanya tidak ada satupun pemilih yang akan membantah bahwa kita perlu menjaga lingkungan. Jadi, politik ini bersih dari benih prasangka apapun dan sanggup melintas bebas untuk merangkul jenis ideologi apapun. Artinya, parpol yang mengangkat politik hijau atau politik lingkungan justru akan memperlebar basis pemilihnya.
Ada salah satu contoh fenomena politik yang menarik di Jerman. Melansir situs berita DW (dw.com, 26 September 2021), partai hijau di sana ternyata mampu memperoleh peraihan elektoral signifikan di kalangan anak muda Jerman, pemilih pemula dalam rentang 17 tahun sampai 24 tahun. Bagi pemilih ini yang memiliki ciri wawasan luas dan kemauan membaca program partai-partai politik terutama mengenai pemanasan global yang menjadi isu penting.
Maka dari itu, partai hijau di Jerman secara mengejutkan pada tahun 2021 mampu menduduki posisi pertama, mengalahkan partai-partai mapan dalam menggaet suara pemilih muda. Juga, menduduki posisi ketiga dalam perolehan suara nasional (14%), hanya kalah dari SPD (25,8%), dan CDU (24.1%). Hal ini berarti bahwa isu lingkungan sudah menjadi isu yang seksi untuk dilirik oleh kalangan pemilih, terutama pemilih muda.
Di Indonesia, mengingat jumlah pemilih usia 17-30 tahun diperkirakan mencakup 60 persen total pemilih pada pemilu 2024 dan tentu akan bertambah pada pemilu berikutnya, maka prospek elektoral bagi partai yang menerapkan politik lingkungan akan sangat menarik. Tinggal apakah ada keberanian bagi parpol-parpol di Indonesia untuk mulai mengusung agenda tersebut.
Penulis: Eri Saputra, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik