Kemarin saya iseng mengikuti satu diskusi online dengan topik green capitalism and green washing. Diskusi menarik yang dipresentasikan oleh salah seorang peserta Program Kader Ulama Universitas Darussalam (PKU Unida) Gontor Ponorogo melalui media zoom meeting. Mengenai program PKU Unida ini merupakan sebuah cerita menarik tersendiri. Tapi saat ini saya ingin mengulas sedikit tentang topik perbincangan di ruang zoom itu: tentang green capitalism dan green washing, 2 konsep yang popular dan hypening yang dicikalbakali gerakan lingkungan awal di tahun-tahun 1970-an. Menurut para pengamat lingkungan, gerakan ini diinspirasi oleh buku "Silent Spring" karya Rachel Carson ditahun 1962 yang menyoroti dampak negatif pestisida. Sejak saat itu banyak inisiatif yang selintasan digulirkan seperti konferensi Stockholm di tahun 1972, Brundlant report 1987, konferensi bumi Rio di tahun 1992 hingga Perjanjian Paris 2015.
Lalu, apa itu green capitalism atau kapitalisme hijau dan green washing atau muslihat hijau…?
Green capitalism dan greenwashing adalah dua konsep yang muncul dalam diskusi mengenai keberlanjutan dan lingkungan dalam konteks ekonomi global saat ini. Green capitalism mengacu pada pendekatan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam model bisnis kapitalis, yang mencoba menjembatani tujuan kapitalisme dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Ini melibatkan integrasi teknologi hijau, efisiensi energi, dan praktik ramah lingkungan dalam operasional bisnis dengan tujuan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sambil tetap menghasilkan keuntungan. Contoh-contoh nyata dari green capitalism termasuk penggunaan energi terbarukan, pengurangan emisi karbon, serta praktik daur ulang dan pengurangan limbah dalam rantai produksi.
Perusahaan yang benar-benar menerapkan green capitalism biasanya menunjukkan komitmen jangka panjang terhadap keberlanjutan. Mereka berinvestasi dalam teknologi hijau, mengadopsi kebijakan lingkungan yang ketat, dan melibatkan seluruh rantai pasokannya dalam upaya keberlanjutan. Selain itu, mereka juga transparan dalam melaporkan kemajuan dan tantangan yang dihadapi dalam upaya ini.
Di sisi lain, greenwashing adalah praktik di mana perusahaan menampilkan profil diri sebagai ramah lingkungan melalui kampanye pemasaran dan strategi branding, sementara kenyataannya tindakan mereka tidak sejalan dengan klaim tersebut. Greenwashing sering kali melibatkan penggunaan istilah-istilah seperti "hijau", "ramah lingkungan", atau "sustainable" tanpa bukti nyata dan tanpa sertifikasi yang mendukung klaim tersebut.
Greenwashing bisa sangat merusak karena menipu konsumen yang memilih prinsip berkelanjutan dengan mengurangi dampak mereka terhadap lingkungan. Selain itu, greenwashing juga dapat menghambat kemajuan sebenarnya dalam mewujudkan keberlanjutan melalui ilusi bahwa perusahaan sudah beroperasi dengan cara yang benar-benar hijau, padahal kenyataannya tidak demikian.
Selain praktek greenwashing yang distorsif, upaya mencapai green capitalism menghadapi sejumlah tantangan berat. Pertama, implementasi teknologi ramah lingkungan seringkali memerlukan investasi awal yang besar. Banyak perusahaan, terutama yang kecil dan menengah, mungkin tidak memiliki sumber daya untuk melakukan investasi ini. Kedua, mengubah proses produksi yang telah berjalan lama dan mengadopsi teknologi hijau akan memerlukan perubahan besar dalam struktur industri dan operasional yang bisa menjadi tantangan besar. Ketiga, masalah regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten atau kurang mendukung dan kurangnya insentif dan regulasi yang jelas dapat menghambat perusahaan untuk beralih ke praktik bisnis yang lebih berkelanjutan. Keempat, perubahan mindset dan mempertahankan komitmen akan membutuhkan energi dan waktu yang panjang.
Di tengah harapan dan rasa skeptis antara green capitalism dan greenwashing, tren frugal living muncul di kalangan generasi muda. Frugal living adalah gaya hidup yang menekankan penghematan, pengurangan konsumsi berlebihan, dan peningkatan efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Bagi banyak generasi muda, frugal living bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga tentang membuat pilihan yang lebih sadar dan berkelanjutan.
Motivasi di balik adopsi frugal living oleh generasi muda bervariasi. Sebagian melakukannya karena kekhawatiran terhadap lingkungan dan keinginan untuk mengurangi jejak karbon mereka. Yang lain tertarik oleh nilai-nilai anti-konsumerisme, yang mengkritik budaya konsumsi berlebihan dan mendorong penggunaan sumber daya yang lebih bijak. Selain itu, ketidakstabilan ekonomi dan ketidakpastian masa depan juga memotivasi banyak generasi muda untuk mengadopsi gaya hidup ini sebagai cara untuk mencapai keamanan finansial dan hidup sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan.
Generasi muda yang mengadopsi frugal living sering kali skeptis terhadap klaim-klaim keberlanjutan dari perusahaan. Mereka lebih cenderung untuk melakukan riset mendalam tentang produk dan perusahaan sebelum melakukan pembelian, menghindari produk yang terlibat dalam praktik greenwashing. Sebaliknya, mereka mendukung perusahaan yang menunjukkan komitmen nyata terhadap green capitalism. Ini pada gilirannya memaksa perusahaan untuk mengadopsi praktik yang lebih berkelanjutan jika mereka ingin tetap relevan di pasar.
Prinsip frugal living juga sangat beririsan dengan prinsip Zuhud dalam Islam terutama dalam hal kesederhanaan, tidak berlebihan dalam konsumsi, dan fokus pada nilai-nilai spiritual serta kemanusiaan. Dengan menerapkan prinsip-prinsip zuhud, umat Muslim dapat berkontribusi pada perkembangan ekonomi hijau melalui investasi dalam teknologi hijau, energi terbarukan, dan bisnis berkelanjutan serta mendukung produk dan layanan yang mematuhi standar keberlanjutan. Zuhud juga mendorong penguatan ikatan sosial dan kerjasama dalam komunitas. Ini dapat mendukung inisiatif lokal untuk keberlanjutan, seperti pertanian organik, pasar lokal, dan proyek komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan keberlanjutan dan ketahanan lokal.
Meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan tuntutan untuk bertindak lebih berkelanjutan mendorong perusahaan-perusahaan di seluruh dunia semakin memprioritaskan investasi dalam teknologi hijau, pengurangan emisi karbon, dan integrasi praktik bisnis yang ramah lingkungan. Kemajuan dalam regulasi yang lebih ketat dan permintaan konsumen yang semakin kritis terhadap transparansi lingkungan juga akan mendorong lebih banyak inovasi dan investasi dalam green capitalism, menjadikannya pendorong utama dalam menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Penulis : Yunarti Yulkardi (Dosen Antropologi – Fisip Universitas Andalas)