Bencana alam dapat saja terjadi meskipun manusia telah berusaha memberikan bermacam prediksi. Lembaga pemerintah maupun non-pemerintah telah mengeluarkan prediksi dengan beragam kemungkinan dan intensitas proses kebencanaan akan terjadi ke depannya.
Meskipun demikian, prediksi masih menjadi suatu proses perkiraan secara sistematis didasarkan informasi dari kejadian masa lalu dan sekarang. Bahkan hal ini tidak akan memberikan jawaban pasti untuk kejadian dimasa depan, melainkan mencari jawaban sedekat mungkin terhadap bencana tersebut.
Fenomena bencana alam kian bertubi-tubi terjadi diberbagai wilayah Indonesia seperti halnya pada Provinsi Sumatera Barat sejak akhir tahun 2023 sampai bulan Mei 2024. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis total korban jiwa (20/5) sebanyak 61 orang meninggal dunia dan kerugian sementara mencapai Rp. 108,38 miliar. Bahkan berdasarkan perhitungan Bupati Tanah Datar yang direlease Detik.com (12/6) bencana tersebut menyebabkan kerugian hingga Rp. 500 miliar.
Disisi lain, setiap manusia atau kelompok masyarakat di setiap daerah memiliki pengetahuan lokal sebagai keunikan bahkan secara modern dalam menghadapi situasi ini.
Pengetahuan Masyarakat sebagai “Kearifan Lokal” dalam Tanggap Bencana
Pada tataran teoritis dan praktis, setiap kelompok masyarakat memiliki pengetahuan spesifik lokal atau dikenal dengan “social capital”, hal ini memainkan peran penting dalam pengaturan masyarakat “community managemen”. Sebab social capital merupakan kapabilitas dan kemampuan tertentu yang dihasilkan oleh interaksi dan kepercayaan masyarakat. Secara mekanisme community management dengan kondisi geografis wilayah pegunungan, hutan dan sungai didasari oleh hubungan “trust” atau saling percaya, “institustion” atau pranata, dan “social network” atau jaringan sosial.
Sebagian besar fenomena perilaku hewan telah digunakan sebagai penanda bencana dan pedoman evakuasi oleh masyarakat lokal. Pengetahuan lokal ini dikenal dengan semiotika faunal dengan memperhatikan perilaku hewan dilingkungan untuk mitigasi bencana.
Sebagai bagian kearifan lokal dengan pengetahuan masyarakat tentang kebencanaan di Sumatera Barat seperti apabila terjadi perubahan tingkah laku pada burung di hutan yang berpindah dengan tergesa-gesa atau tidak beraturan, menandakan bahwa akan terjadi sesuatu di dalam hutan, seperti halnya gempa atau banjir bah.
Tanda lainnya, ketika awan hitam menutupi langit secara berkelanjutan disertai hujan dengan intensitas kian meningkat, masyarakat yang beraktifitas sekitaran kaki gunung dan pinggiran sungai sudah memahami bahwa itu akan memungkinkan untuk terjadinya banjir bah maupun longsor.
Terkait dalam menghadapi bencana, dibutuhkan kerangka pengetahuan atau “knowledge frame” atau pemahaman atau “indegeous frame” yang dirangkum dalam modal sosial komunitas masyarakat. Hal ini dapat menjadi rujukan dalam memetakan program penanggulangan bencana.
Namun tidak hanya sampai disana, antisipasi kebencanaan memerlukan aturan baku dari pemerintah daerah. Antisipasi paling mendasar dalam kebencanaan yakni dengan cara menata ruang-ruang di wilayah otoritas pemerintah. Fungsi penataan ruang ini dapat meminimalisir akibat dari kebencanaan, oleh karena itu ruang rawan bencana semestinya menjadi aturan vital dalam pengembangannya.
Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/ Kabupaten/ Kota merupakan hasil rancangan kebijakan yang mengatur setiap ruang didaerah dengan beragam aktifitasnya. Tujuannya aturan ini dibentuk agar terdapat keselarasan antara manusia dan alam dengan segala aktifitas, komunitas, kepentingan, serta menjadi rujukan terhadap ruang dengan kawasan rawan bencana. Oleh karena itu, dibutuhkan Perda dengan koordinasi lintas sektor, ini merupakan salah satu political will pemerintah dalam upaya antisipasi terhadap ruang-ruang kawasan rawan bencana.
Keberadaan Kebijakan Penataan Ruang
Pemerintah memiliki peran sangat signifikan untuk melakukan koordinasi lintas sektor mulai dari “agenda setting” penyusunan, implementasi, sampai pada tahapan evaluasi kebijakan penataan ruang wilayah. Dalam proses ini, koordinasi lintas sektor memungkinkan pertukaran data yang lebih efektif dan akurat antara berbagai instansi pemerintah.
Koordinasi ini dapat membantu terciptanya integrasi berbagai perspektif dan kepentingan terkait dengan ruang antara pemerintah, masyarakat dan sektor terkait lainnya. Pemerintah perlu dalam membentuk koordinasi berbagai program dan kegiatan terkait pencegahan dan penanggulangan bencana.
Untuk itu, pemerintah dapat mengalokasikan agenda untuk pembangunan infrastruktur antisipasi bencana, saluran drainase, dan program pemberdayaan pencegahan bencana lainnya melalui proses koordinasi instansi terkait dengan membahas strategi dan langkah-langkah yang akan dilakukan. Secara topografi, Provinsi Sumatera Barat memiliki intensitas curah hujan tinggi, gunung api aktif, pasang air laut dan tempat pertemuan sungai besar. Sehingga meningkatkan resiko bencana di Provinsi Sumatera Barat.
Peranan pemerintah daerah terkait perubahan kebijakan penataan ruang provinsi, dan kabupaten/kota semakin tinggi, agar dapat memastikan masyarakat dapat hidup dengan tenang dan nyaman serta terhindar dari resiko kerugian akibat bencana. Selain itu, pemerintah daerah memiliki segala sumberdaya baik materil maupun non materil untuk memastikan bahwa potensi kerugian dapat ditekan melalui serangkaian langkah dan kebijakan efektif dan efisien.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kini sedang melakukan rancangan RTRW dengan berkoordinasi dengan pemerintah kab/kota, OPD, lembaga terkait lainnya. Namun, Perda RTRW di kabupaten/kota belum memadai untuk menampung setiap kepentingan. Banyak terjadinya pelanggaran tata ruang dari tingkat pemerintah paling rendah seperti tidak patuh terhadap daerah rawan bencana dan peruntukan ruang lainnya. Hal ini disebabkan didalam suatu ruang wilayah dipastikan bahwa memiliki beragam kepentingan individu maupun kelompok baik pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penguasaannya.
Namun, ini tidak serta merta menjadi kesalahan pemerintah, dibeberapa kasus, masyarakat dan swasta sebagai pemilik aset juga memiliki kepentingan terhadap ruang tersebut. Sehingga dibutuhkan keterlibatan multi stakeholder dalam pengembangan perda RTRW.
Tantangan Penataan Ruang Kedepannya
Penataan ruang sebagai upaya manusia untuk merekayasa dengan merubah struktur dan pola ruang dengan tujuan keseimbangan yang lebih berkualitas. Beberapa hambatan akan terjadi jika tidak terdapat sinergitas dalam penataan ruang kota dan kabupaten seperti partisipasi, transparansi, responsibilitas dan akuntabilitas. Namun terdapat pendekatan seharusnya dilakukan mencapai beragam tujuan dan kemanfaatan dari kebijakan tersebut.
Pengetahuan di tingkat lokal dapat menjadi suatu model kearifan lokal dengan di adaptasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Dorongan perkembangan teknologi, dan layanan digitalisasi publik merupakan salah satu bentuk pembaharuan kebijakan RTRW dengan mengintegrasikan beragam data dan peta rawan bencana dari berbagai daerah, sehingga timbul sebuah rancangan baru seperti halnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang dapat diakses oleh siapa saja dan dimana saja oleh pihak berkepentingan.
Agenda setting merupakan pola tindakan oleh pemerintah sebagai tahapan awal untuk mengembangkan ide suatu kebijakan. Model ini menjadi penting bagi suatu kebijakan dalam mendapatkan masalah/issue untuk di analisis, dikembangkan, diformulasikan dan didefinisikan sehingga memunculkan alternatif solusi dari permasalahan.
Selain itu, tahapan perumusan kebijakan ini bersifat substantif dan demokratis, oleh karena itu sikap kritis tidak berkembang dari pemerintah dan ahli, namun masyarakat dan kelompok kepenting pentingan perlu untuk mengembangkan sikap kritis terhadap permasalahan atau issue dari penataan ruang agar terciptanya rasionalitas suatu kebijakan.
Dalam penyusunan kebijakan penataan ruang kedepan seharusnya pemerintah memperhatikan beragam perspektif yang berkembang dan kebutuhan dari setiap masalah penataan ruang kedepannya. Perlu ada dorongan untuk pemerintah daerah menjalankan rancangan RDTR menjadi sangat penting bagi daerah, guna meningkatkan kualitas hidup, kenyamanan, keamanan dan terhindar dari resiko kebencanaan.
Meskipun kebijakan ini muncul dikarenakan permasalahan didaerah tersebut cukup kompleks, pemerintah seharusnya memperhatikan lima aspek dalam pembuatan kebijakan ini yakni 1) Keterpaduan informasi dan integrasi pembangunan, 2) Support dari lintas sektor, kelompok, dan tokoh, 3) Aksesibilitas perumusan dan aturan, 4) Penyesuaian perkembangan dan kebutuhan daerah dengan revisi berkala, dan 5) Kolaboratif.
Penulis : Billy Febrima Hidayat, M.IP (Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)