Padang (UNAND) - Vonis yang dijatuhkan pada terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J (Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal), yang lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadi sorotan publik pasca sidang pembacaan vonis pada Senin (13/2) lalu.

Pakar Hukum Pidana Universitas Andalas Dr. Nani Mulyati, S.H., M.CL menilai bahwa vonis yang dijatuhkan pada terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, merupakan hasil dari sikap para terdakwa sendiri yang tidak jujur selama persidangan, namun justru menyulitkan pengungkapan fakta. Walaupun pada dasarnya hakim tidak terikat pada tuntutan jaksa, sehingga tidak ada permasalahan hukum dengan vonis hakim yang lebih tinggi dari tuntutan JPU.

“Hukum pidana menghukum ketercelaan (blameworthiness) dari suatu perbuatan. Semakin tercela suatu perbuatan maka semakin berat sanksi pidana yang diberikan,” ujar Dr. Nani ketika diwawancarai pada Minggu (19/2).

Dijelaskannya perbuatan Ferdy Sambo sebagai seorang perwira tinggi polisi telah menyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya sebagai aktor intelektual (pihak yang merencanakan) untuk melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, dengan memerintahkan anak-anak buahnya melakukan penembakan dan mengelabui hukum dengan membuat skenario sedemikian rupa yang seakan-akan menganggap dirinya lebih tinggi dari hukum. Hal tersebut dinilai sebagai blameworthiness yang patut diberikan hukuman.

Menurutnya, kewenangan yang diberikan oleh hukum bagi seorang perwira polisi adalah untuk menjaga ketertiban hukum dan mengayomi masyarakat, bukan malah untuk menghilangkan nyawa seorang manusia yang notabene juga adalah ajudan yang seharusnya ada dalam lindungannya.

Namun, sikap Ferdy Sambo yang tidak mengungkapkan fakta sebenarnya dari apa yang terjadi di depan pengadilan, membuat nilai ketercelaan tersebut semakin besar. Dr. Nani menyebut, Sambo (termasuk ketiga terdakwa lain) berusaha untuk mengelabui hukum dengan memberikan keterangan yang menyulitkan pengungkapan fakta yang sebenarnya. Hal itulah yang berpengaruh pada keputusan hakim yang akhirnya dijatuhkan pada Senin (13/2) lalu.

“Hukum Acara Pidana Indonesia dalam pembuktiannya menggunakan teori pembuktian yang negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie), yang menghendaki adanya alat bukti yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang serta diikuti pula adanya keyakinan hakim bahwa tindak pidana secara materil benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah. Apabila hakim dalam kasus Sambo berpandangan bahwa dengan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan, hakim memiliki keyakinan terdakwa bersalah dan dengan ketercelaan yang dimiliki layak untuk dipidana mati, maka putusan tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana,” papar Dr. Nani yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Atensi publik yang luar biasa terhadap kasus ini sejak pertama kali dikuak ke media pun dinilai Dr. Nani sedikit banyaknya memberikan pengaruh pada penilaian dari hakim. Perhatian yang besar dari masyarakat dapat berdampak positif terhadap proses hukum yang berjalan, dalam memastikan aparat penegak hukum menjalankan kewajibannya seperti seharusnya.

“Di satu sisi, perhatian yang besar dari masyarakat dapat berdampak positif terhadap proses hukum yang berjalan, dalam memastikan aparat penegak hukum menjalankan kewajibannya dengan baik. Namun, di sisi lain tidak dapat dihindari masyarakat akan memberikan penilaian terhadap proses hukum yang berjalan dan mungkin akan secara tidak langsung dapat mempengaruhi penilaian hakim,” tambahnya.

Dampak positif lain yang terjadi akibat perhatian publik yang besar pada kasus ini salah satunya adalah pada kasus Richard Elliezer, di mana aliansi Akademisi Indonesia dengan suka rela menjadi Amicus curiae (friend of the court), sesuai dengan keahliannya, memberikan pandangannya, khususnya terkait dengan Justice Collaborator dan hukum perlindungan saksi dan korban.

Pemberitaan yang mengalir dan sorotan-sorotan publik melalui media memang memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat, khususnya pada penegakan hukum pidana di Indonesia. Dr. Nani mengatakan, dari kasus ini seluruh masyarakat dapat belajar untuk memahami kembali bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum. “Yang paling penting dalam kasus ini adalah tidak ada orang yang berada di atas hukum. Semua orang harus tunduk terhadap hukum dan mematuhi hukum yang ada. Di samping itu, perhatian masyarakat terhadap perkara hukum, secara tidak langsung akan mengawal proses hukum agar tetap berjalan di koridor yang benar,” pungkasnya.


Humas, Protokol, dan Layanan Informasi Publik

Universitas Andalas