Padang (UNAND) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Prof. dr. Hardisman, MHID., Dr.PH., menyatakan permasalahan kesehatan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini yaitu masalah kurang gizi, dan masalah penyakit kronis degeneratif (katastropik) dan juga masalah kecukupan serta distribusi tenaga dokter.

“Lalu bagaimana kita mengatasi permasalahan Ini? Dalam orasi ini saya ingin menyampaikan pendidikan kedokteran dan kebijakan kesehatan harus berjalan seiring untuk menyelesaikan dua sisi masalah tadi,” ujar Prof. Hardisman melalui orasi ilmiah berjudul ‘Pendekatan Simbiotik Pendidikan dan Kebijakan Kesehatan dalam Peningkatan Kompetensi dan Pemenuhan Tenaga Dokter’, yang dipaparkan pada acara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada Senin (27/2).

Ia menuturkan pendidikan berperan dalam tiga hal, yaitu pendidikan klinis yang terintegrasi, pendidikan etika humaniora, dan pendidikan interprofesi. Peranan pendidikan ini berguna untuk menciptakan outcome pendidikan kedokteran yang dapat menjawab berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat seperti yang dipaparkan sebelumnya, atau disebut outcome-based.

Selain itu, ia juga memaparkan apa yang disebut sebagai “simbiotik kebijakan kesehatan dan pendidikan”, yaitu berupa pendekatan dan cara pandang pada pendidikan tahap klinik oleh layanan kesehatan dan rumah sakit sebagai wahana pendidikan. Disampaikannya asumsi proses pendidikan itu mesti dipandang saling menguntungkan oleh layanan kesehatan dan pendidikan.

“Oleh karena itu pendidikan kedokteran ke depan tidak dapat dipisahkan dari wahana pendidikan (layanan kesehatan dan rumah sakit) yang sebenarnya dimiliki oleh pemerintah, yang semestinya menjadi ujung tombak kesuksesan pendidikan kedokteran itu sendiri,” ujarnya yang menjadi Guru Besar Termuda di Universitas Andalas.

Nyatanya, saat ini di Indonesia, pemerintah daerah pemilik wahana pendidikan kedokteran itu mengharuskan institusi pendidikan untuk membayar retribusi, yang pada akhirnya akan dibebankan pada biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Sementara di beberapa negara lain seperti Australia dan Irlandia, hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab kesehatan yang dipayungi oleh regulasi dari pemerintah.

Untuk persoalan kecukupan tenaga dokter, Prof. Hardisman telah meneliti dan menemukan apabila tanpa melakukan perubahan apapun, Indonesia akan mencapai angka cukup tenaga dokter pada tahun 2032.

Namun yang perlu diperhatikan tentunya adalah distribusinya. Dijelaskannya masalah distribusi ini berkaitan dengan distribusi tenaga dokter di daerah terpencil, yang membutuhkan serangkaian kebijakan yang menjamin tenaga dokter untuk dapat hidup layak dengan dukungan finansial dan lingkungan yang nyaman di tempatnya berpraktek.

“Bagaimana mungkin dokter yang ditempatkan di daerah terpencil, daerah perbatasan, atau daerah 3T, akan bertahan di tempat itu apabila jaminan kelayakan, finansial, dukungan peralatan tidak terpenuhi,” tambahnya. 

Untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang dipaparkan, penguatan promotif-preventif menjadi salah satu solusi yang ditawarkan beliau, di mana dilakukan usaha pencegahan penyakit yang dimulai dari faktor-faktor lingkungan yang berpotensi menyebabkan penyakit tersebut. Usaha ini juga berkaitan dengan kebijakan dukungan pembiayaan layanan kesehatan seperti JKN, di mana sistem yang dilakukan adalah pembiayaan berobat satu orang didukung oleh pembiayaan seribu orang lain.

“Apabila pembiayaan kesehatan kita hanya mengedepankan pembiayaan kesehatan pada KJSU (dengan pembiayaan ditanggung JKN) tanpa promotif-preventif yang kuat, maka pembiayaan kesehatan tetaplah jebol pada akhirnya,” tuturnya yang juga menjadi Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran.

Di akhir orasinya, ditambahkannya pendidikan kedokteran hendaknya mampu melahirkan insan kedokteran dengan kompetensi yang dimilikinya di keilmuan, juga perlu memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan masyarakat untuk mendukung penguatan promotif-preventif tersebut.

Humas dan Protokol UNAND