Minggu ini dan beberapa hari ke depan adalah saat-saat di mana seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemilu menunggu putusan MK terkait pengujian sistem pemilu legislatif. Apakah MK akan mengabulkan permohonan untuk mengubah sistem pemilu, menolaknya atau MK justru berusaha mencari sebuah jalan tengah? Segala argumentasi untuk masing-masing posisi hukum tentu sudah terhimpun selama proses persidangan. Sekarang tinggal bagaimana para hakim konstitusi mempertimbangkan segala argumentasi secara bijak dan menuangkannya menjadi putusan yang tidak membuat geger penyelenggaraan Pemilu 2024.

Jika memperhatikan situasi yang berkembang di luar MK, putusan terkait sistem pemilu ini merupakan hal sangat strategis, sehingga menimbulkan banyak respons. Tekanan politik juga begitu tinggi, baik dari kekuatan yang tidak tampak ke permukaan atau pun dari kekuatan politik yang secara terang menyatakan penerimaan atau penolakannya terhadap permintaan mengubah sistem pemilu. Idealnya, lembaga kekuasaan kehakiman tidak boleh ditekan,  dipengaruhi atau diancam atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Hanya saja, tekanan yang datang dari yang pro dan yang kontra haruslah dipahami dalam konteks mendorong agar MK bersikap arif dan bijaksana dalam memutus permohonan ini. MK harus sangat hati-hati dan melepaskan diri segala pengaruh kekuatan politik, sehingga putusan yang diambil betul-betul mengutamakan kepentingan negara di atas segala kepentingan lainnya.

 

Mengubah Sistem?

Tidak ada yang membantah bahwa sistem pemilu mana pun memiliki sisi lemah. Oleh karena itu, ketika satu sistem telah dipilih dan sisi lemahnya muncul ketika dilaksanakan, maka pilihan mengubah sistem mestinya bukan jadi solusi utama. Sebab, menggantinya dengan sistem lain justru akan mengantarkan kita pada sisi lemah sistem baru itu pula. Lalu setelah itu apakah akan kembali mencari sistem baru lagi? Kalau begitu sampai kapan selesainya? Ini justru akan jadi tasalsul yang tidak ada ujungnya. Tersebab hal itu, pada saat dihadapkan pada kelemahan suatu sistem, jalan yang ditempuh seharusnya adalah mencari jalan mengatasi kelemahan dengan tanpa mengubah sistem.

Salah satu kelemahan proporsional terbuka yang sering diungkap adalah melemahnya institusionalisasi partai politik. Masalah ini pada dasarnya bisa diatasi dengan membenahi mekanisme kandidasi calon anggota legislatif. UU Pemilu dan UU Parpol mesti mengatur mekanisme pencalonan caleg sesuai kerangka penguatan institusi parpol. Caranya, ketentuan pencalonan dalam UU Pemilu diubah dengan mengadopsi mekanisme pemilihan internal parpol untuk penentuan calon legislatif. Proses penjaringan calon yang oleh sebagian parpol selama ini dilakukan melalui proses rekrutmen terbuka (open recruitment) mesti dihilangkan. Calon yang dijaring harusnya adalah kader-kader partai. Mekanisme ini diyakini akan mengurangi masuknya bakal caleg nonkader yang hanya bermodalkan popularitas dan uang. Untuk itu, UU Pemilu juga perlu mensyaratkan bahwa orang yang boleh diajukan sebagai bakal calon anggota legislatif adalah orang yang sudah menjadi anggota partai dalam waktu tertentu, misalnya minimal tiga tahun.

Lebih jauh, sistem proporsional terbuka juga dituduh telah menyuburkan praktik politik uang dalam pemilu. Pada dasarnya seluruh sistem pemilu memiliki potensi terjadinya politik uang. Oleh karena itu, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mengeliminasi politik uangnya. Sejauh ini, UU Pemilu telah memuat ketentuan terkait penanganan politik uang, namun ketentuan yang ada masih jauh dari memadai. Di samping hanya menekankan pada politik uang dalam kampanye dan pemungutan suara, ketentuan terkait penanganan politik uang juga jauh dari cukup. Dengan ketentuan yang ada saat ini, aktor-aktor utama otak pelaku politik uang sangat sulit dijangkau. Kalau pun terdapat orang yang dihukum karena melakukan politik uang, mereka tidak lebih dari para operator lapangan saja, bukan otak pelakunya. Bila ingin mengeliminasi politik uang, kerangka hukum penanganan politik uang inilah yang harus diperbaiki. Perluasan cakupan perbuatan politik uang dan perbaikan mekanisme penanganannya diyakini akan mampu menjawab masalah politik uang.

Ide-ide perbaikan ini sesungguhnya telah menjadi catatan evaluasi pemilu 2009, 2014 dan juga 2019. Jika pemerintah dan partai politik di DPR memandang bahwa proses institusionalisasi parpol makin melemah dan politik uang semakin marak dalam pemilu, pemerintah dan DPR sudah harus membenahi kebijakan hukum pemilu yang ada. UU Pemilu mesti direvisi sesuai visi penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Seluruh norma UU Pemilu yang memiliki celah pelemahan institusi parpol dan pembiakan politik uang mesti diperbaiki sehingga keluhan terhadap sistem proporsional terbuka dapat diatasi. Jika upaya perbaikan kebijakan hukum ini dilakukan, perubahan sistem pemilu baik mengubah secara total atau sebagian atau proporsional tertutup untuk DPR dan proporsional terbuka untuk DPRD provinsi/kabupaten/kota, tentu tidak diperlukan bukan?

 

Ketidakpastian Pemilu 2024

Bagaimana jika MK mengabulkan permohonan dengan memutuskan untuk mengubah sistem pemilu menjadi sistem proporsional tertutup? Untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 yang tahapannya sudah berjalan, dipastikan putusan tersebut akan menimbulkan ketidakpastian, baik secara hukum maupun politik.

Pertama, secara hukum putusan demikian akan menyebabkan ketidakpastian terhadap penerapan norma UU Pemilu. Sebab, tujuh Pasal UU Pemilu yang diuji hanyalah norma yang secara eksplisit berkenaan dengan proporsional terbuka. Sementara terdapat banyak norma lain, baik terkait kampanye, proses pemungutan suara, penyelesaian sengketa dan pelanggaran hukum pemilu yang disusun dalam kerangka sistem proporsional terbuka yang tidak dimohonkan untuk diuji. Apabila permohonan dikabulkan, dipastikan akan terjadi masalah pada beberapa tahapan dan proses penegakan hukum Pemilu 2024.

Kedua, perubahan sistem pemilu akan menimbulkan gangguan yang dapat berujung pada penundaan Pemilu 2024. Akan terjadi perubahan rencana penyelenggaraan pemilu, sementara waktu tidak lagi memadai, sehingga akan berkonsekuensi terhadap penundaan. Apabila hal ini terjadi, dipastikan ia akan menabrak asas keberkalaan pemilu setiap lima tahun sekali sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Jika hal ini sampai terjadi, MK akan menjadi pihak yang paling dipersalahkan atas putusannya mengubah sistem pemilu di saat yang tidak tepat.

Ketiga, secara politik, panjangnya proses persidangan pengujian UU Pemilu karena banyaknya pihak yang mesti didengar keterangannya hingga beririsan dengan proses pendaftaran calon anggota legislatif telah menimbulkan kegamangan bagi banyak bakal caleg. Mayoritas bakal caleg tidak siap menerima perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup. Bahkan diantaranya ada yang menyatakan akan mengundurkan diri sebagai caleg jika MK memutuskan mengabulkan permohonan perubahan sistem pemilu. Adapun kalangan pengurus parpol mengeluhkan bahwa perubahan sistem akan menyebabkan mesin politik partai dalam pemilu akan terganggu. Sebab, selama ini para caleg yang berjuang mencari suara merupakan mesin efektif partai untuk mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.

 

Putusan Penyelamatan Pemilu

Dengan segala kemandirian yang ada serta kenegarawanan yang disandang para hakim konstitusi, tidak ada pilihan lain bagi MK selain mengeluarkan putusan yang lebih mengutamakan penyelamatan Pemilu 2024 yang sudah berjalan. Boleh saja MK mengubah pendiriannya terkait metode penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dituangkan dalam Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008. Hanya saja, koreksi atas putusan tersebut tidak lain hanya ditujukan untuk membukakan kunci bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pemilu yang ada, dan bukan untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Sebab, sepanjang MK tidak mengubah pendiriannya terkait penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dalam putusan tersebut, selama itu pula pembentuk undang-undang tidak dapat mengutak-atik metode penentuan calon terpilih dalam UU Pemilu.

Bila mana hendak menggeser pendiriannya, MK perlu memberikan kerangka terkait sistem pemilu yang sesuai dengan kerangka UUD 1945. Di antaranya, pertama, sistem pemilu tidak boleh keluar dari prinsip kedaulatan rakyat. Sebagai sarana demokrasi, sistem pemilu mesti memberi ruang bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk melakukan evaluasi dan kontrol terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, khususnya partai politik. Artinya, sistem pemilu yang didesain tidak boleh membiarkan rakyat memberikan cek kosong kepada parpol. Kedua, sistem pemilu mesti mengadopsi proses pelibatan rakyat oleh parpol, khususnya dalam proses pencalonan dan penentuan calon terpilih. Ketiga,  sistem pemilu yang dipilih haruslah sistem yang dapat menjamin terpeliharanya keberagaman aspirasi politik di lembaga perwakilan. Keempat, mekanisme penegakan hukum pemilu mesti diperkuat agar segala pelanggaran dan penyimpangan dalam pemilu (apa pun sistemnya) dapat ditangani secara baik sehingga keadilan dan kejujuran pemilu tidak dikorbankan.

Dengan sebatas memberikan kerangka, MK tidak lagi mengambil posisi untuk menentukan satu sistem pemilu tertentu konstitusional dan yang lain inkonstitusional. Biarkan pilihan itu menjadi ranah pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Dengan memilih jalan ini, ruang evaluasi sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang tentu akan terbuka. Selanjutnya, guna memastikan agenda evaluasi sistem pemilu dilaksanakan setelah Pemilu 2024, tentu tidak haram pula bagi MK untuk menukilkan itu dalam pertimbangannya.  Dengan memilih posisi ini, MK tetap akan dikenang sebagai penyelamat demokrasi, dan bukan sebaliknya.(*sudah tayang di Media Indonesia 5/6)

 

Penulis :  Dr. Khairul Fahmi (Dosen Departemen HTN, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas)