
Padang (UNAND) — Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang akan digelar di seluruh wilayah Kabupaten Pasaman bukan sekadar agenda elektoral lanjutan. Bagi tiga pakar politik dari Universitas Andalas—Prof. Dr. Asrinaldi, Dr. Aidinil Zetra, dan Dr. Doni Hendrik—PSU ini merupakan medan dialektika penting antara hukum, kepercayaan publik, serta masa depan demokrasi lokal.
"Legitimasi PSU itu tidak bisa lagi dipertanyakan karena sudah berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding," tegas Prof. Asrinaldi. Pandangan ini dipertegas oleh Dr. Doni Hendrik yang menyatakan bahwa PSU di Pasaman terjadi karena adanya cacat hukum serius dalam pencalonan kepala daerah. "Salah satu kandidat terbukti pernah dipidana, namun tidak diumumkan kepada publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan peraturan KPU. Ini pelanggaran serius yang menyebabkan MK memutuskan PSU."
Namun, Dr. Aidinil Zetra menambahkan dimensi sosial dari legitimasi tersebut. "Jika dasar hukum PSU adalah fakta yuridis, maka legitimasi publik adalah fakta sosial. Transparansi dan partisipasi menjadi kuncinya."
Keduanya sepakat bahwa tantangan terberat PSU bukan lagi legalitas, melainkan menumbuhkan kepercayaan publik yang sempat mengendur akibat ketidaktahuan, disinformasi, dan kejenuhan politik. "Bagi warga, Pilkada 27 November lalu sudah menjadi puncak emosional. PSU bisa dianggap pengulangan yang melelahkan," ujar Asrinaldi. Aidinil menambahkan, "PSU sering dianggap sebagai panggung elitis yang tak menyentuh kepentingan rakyat. Maka pendekatannya harus partisipatoris, berbasis komunitas, dan menyentuh hati."
Dr. Doni Hendrik menyoroti bahwa kejenuhan politik dan tekanan ekonomi menjadi faktor utama turunnya partisipasi. "Sebagian besar masyarakat Pasaman adalah petani kecil. Ketika kebutuhan dasar harus dipenuhi, partisipasi politik jadi prioritas kedua. Ditambah dengan kelelahan akibat intensitas politik sepanjang 2024, motivasi untuk memilih pun melemah," jelasnya.
Soal netralitas penyelenggara, Asrinaldi percaya instrumen pengawasan sudah tersedia, tinggal ditegakkan. Aidinil menyoroti pentingnya memperkuat tiga aspek: institusional, kultural, dan teknis. Doni menambahkan formula "S3 + P" (sosialisasi, sosialisasi, sosialisasi, dan penyadaran) sebagai kunci keterlibatan masyarakat dan legitimasi penyelenggara. "KPU harus masif dalam menyosialisasikan PSU melalui ceramah, media sosial, hingga melibatkan tokoh masyarakat. Tapi lebih dari itu, rakyat harus disadarkan bahwa mereka pemilik suara dan pengambil keputusan."
Tentang praktik politik uang yang kerap membayangi PSU, ketiganya bersuara senada: ini tradisi yang salah namun terus berlangsung. "Politik uang telah mengakar, bahkan dalam pemilihan wali nagari atau ketua partai. Penegakan hukum dan sanksi tegas adalah jalan satu-satunya," kata Asrinaldi. Aidinil menekankan peran tokoh adat dan pemuda lokal sebagai pelindung moral demokrasi. "Masyarakat harus diberdayakan, bukan dibeli."
Dalam konteks sosial Pasaman yang berbasis nagari dan ditandai oleh polarisasi utara-selatan serta keragaman etnis, ketiganya sepakat bahwa tokoh adat dan agama memainkan peran krusial. "Apa yang dikatakan tokoh adat seringkali lebih menentukan dari seruan kampanye," ujar Asrinaldi. Aidinil menyarankan pendekatan berbasis nilai-nilai lokal seperti "kok malu dek kampuang" sebagai fondasi netralitas dan partisipasi.
Di era digital, disinformasi menjadi musuh baru. Asrinaldi menyoroti hoaks yang menyebutkan calon tertentu sudah pasti menang sebagai tantangan serius. Aidinil mendorong strategi komunikasi KPU yang lebih proaktif dan kontekstual. "Gunakan simbol dan humor lokal. Bangun jaringan influencer demokrasi berbasis komunitas," sarannya. Doni menekankan bahwa media digital harus dioptimalkan sebagai kanal utama sosialisasi—dengan pendekatan yang menyentuh logika dan rasa.
Polarisasi politik pun menjadi perhatian. "Pasaman mungkin tidak multi-etnis, tapi ada faksi utara dan selatan yang nyata," ungkap Asrinaldi. Menurut Aidinil, rekonsiliasi harus dirancang pasca-PSU, bukan dibiarkan alami. "Libatkan semua kelompok dalam struktur pemerintahan. Demokrasi kita bukan soal menang-menangan, tapi merawat keberagaman."
PSU juga dinilai sebagai cermin kelemahan sekaligus peluang reformasi. "Satu celah dalam penyelenggaraan bisa jadi dasar gugatan dan membatalkan hasil pemilihan. Profesionalisme dan seleksi ketat penyelenggara mutlak," kata Asrinaldi. Aidinil menambahkan pentingnya membangun sistem pemilu yang lentur, tangguh, dan didukung infrastruktur informasi yang transparan. Doni menyebut PSU sebagai "proses pengambilan ulang legitimasi rakyat" yang harus dijaga dengan baik agar tak diulang di masa depan.
Ketiganya menilai kampus seperti UNAND punya peran strategis. "PSU harus jadi living laboratory of democracy," ujar Aidinil. Prof. Asrinaldi menekankan pentingnya evaluasi yang menyentuh akar persoalan, melibatkan kampus dan masyarakat sipil sebagai mitra reformasi. Dr. Doni menambahkan, "Kampus harus jadi pusat penyadaran, pendidikan pemilih, dan pengawal akal sehat di tengah riuh rendah politik."
Terakhir, mereka seiya sekata: narasi PSU harus dibangun sebagai koreksi, bukan kekacauan. "Kita tak sedang mengulang karena gagal, tapi sedang menyempurnakan proses karena percaya bahwa suara rakyat terlalu berharga untuk dicemari cacat prosedural," pungkas Aidinil.
Sebagaimana ditegaskan oleh para akademisi ini, demokrasi tidak diukur dari absennya kesalahan, tapi dari kesanggupan kita memperbaikinya dengan terbuka, jujur, dan bermartabat.
Humas, Protokol, dan Layanan Informasi Publik Universitas Andalas