Apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden boleh melaksanakan kampanye untuk pasangan calon tertentu dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden? Secara hukum, dengan merujuk Pasal 299 UU Pemilu, jawabannya sudah sangat jelas, Presiden atau Wakil Presiden boleh atau berhak melaksanakan kampanye. Hanya saja, jawaban tentu tidak hanya sampai di sana, melainkan mesti sampai pada jawaban bagaimana seharusnya jika Presiden atau Wakil Presiden melaksanakan kampanye. Terkait hal ini, terdapat sejumlah norma sebagai kerangka hukum kampanye yang mesti diperhatikan dan dipatuhi, khusus oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pertama, status Presiden atau Wakil Presiden sebagai anggota atau bukan anggota partai politik mesti menjadi perhatian. Apabila Presiden atau Wakil Presiden merupakan anggota partai politik, yang bersangkutan berhak melaksanakan kampanye untuk partainya atau calon Presiden/Wakil Presiden yang diusung parpolnya tanpa syarat. Sebaliknya, jika Presiden atau Wakil Presiden bukan anggota partai politik dan ia juga bukan calon Presiden atau calon Wakil Presiden, maka haknya untuk melaksanakan kampanye hanya dapat dilaksanakan jika ia telah menjadi anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang didaftarkan ke KPU. Apa dasarnya?
Dalam Pasal 269 UU Pemilu diatur bahwa pelaksana kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdiri atas pengurus parpol atau gabungan parpol pengusul, orang seorang, dan organisasi penyelenggara yang ditunjuk. Dalam melaksanakan kampanye, calon Presiden dan Wakil Presiden membentuk tim kampanye. Selanjutnya dalam Pasal 272 UU Pemilu ditegaskan bahwa pelaksana kampanye dan tim kampanye harus didaftarkan pada KPU.
Ketika Presiden dan Wakil Presiden bukan berstatus sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, maka ketentuan kampanye sesuai Pasal 269 dan Pasal 272 UU Pemilu juga berlaku baginya. Dengan demikian, ketika Presiden atau Wakil Presiden hendak menggunakan haknya untuk berkampanye sesuai Pasal 299 UU Pemilu, maka ketentuan berkampanye sesuai Pasal 269 dan Pasal 272 UU Pemilu juga mesti dipenuhi. Caranya, Presiden atau Wakil Presiden yang bukan merupakan calon Presiden atau Wakil Presiden didaftarkan sebagai pelaksana atau tim kampanye kepada KPU. Kenapa demikian?
Seorang pejabat negara yang melaksanakan kampanye mesti jelas statusnya. Apakah ia sebagai calon, sebagai tim pemenangan atau sebagai tim kampanye. Kejelasan status dalam kampanye pemilu sangat diperlukan karena pada diri seorang pejabat negara melekat segala atribut kekuasaan dan fasilitas negara. Ia memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan atau tindakan tertentu atas kekuasaan yang dipegangnya, dan hal itu sangat potensial untuk disalahgunakan, apalagi untuk sebuah kontestasi di mana pejabat negara tersebut berpihak pada salah satu kontestan pemilu. Untuk menghindari dan menyediakan mekanisme kontrol atas potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara tersebut, status keikutsertaannya dalam kampanye pemilu mesti jelas dan tegas.
Hal tersebut juga sejalan dengan ketentuan cuti bagi pejabat negara yang melaksanakan kampanye. Dalam UU Pemilu diatur bahwa pejabat negara seperti Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dapat diberikan cuti kampanye. Bagi Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota yang mana? Hak cuti kampanye adalah bagi mereka yang berstatus sebagai calon, sebagai tim kampanye atau sebagai pelaksana kampanye. Artinya, bagi pejabat negara sekelas menteri harus jelas statusnya dalam keikutsertaan berkampanye, sehingga dengan begitu ia dapat diberikan cuti. Dengan demikian, mafhum muwafaqah-nya, ketika Presiden yang notabene adalah pejabat negara hendak menggunakan hak untuk berkampanye, maka statusnya sebagai tim kampanye juga harus jelas.
Sampai titik ini, dapat dipahami bahwa Presiden Jokowi atau Wakil Presiden Ma’ruf Amin sah dan berhak secara hukum untuk melaksanakan kampanye pemilu. Hanya saja, ketika Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin misalnya hendak melaksanakan hak tersebut, keduanya mesti jelas statusnya sebagai tim kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ia dukung dengan didaftarkan ke KPU. Ketika status tersebut tidak jelas karena tidak didaftarkan sebagai tim kampanye, maka hak berkampanye orang yang menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden harusnya tidak dapat dilaksanakan.
Kedua, apabila Presiden atau Wakil Presiden melaksanakan kampanye, maka terlarang baginya untuk menggunakan fasilitas negara. Fasilitas tersebut mencakup kendaraan dinas pejabat negara, gedung, rumah dinas, sarana perkantoran dan fasilitas lain yang dibiayai dari APBN atau APBN. Bagaimana memberi batas demarkasi terhadap penggunaan fasilitas negara bagi Presiden atau Wakil Presiden dalam berkampanye? Kapan Presiden atau Wakil Presiden terikat dengan ketentuan Pasal 304 UU Pemilu tersebut?
Penggunaan fasilitas negara untuk berkampanye hanya mungkin diberi batas kejelasan ketika pejabat negara juga terang statusnya sebagai tim kampanye. Sejalan dengan itu, ia juga mesti melaksanakan cuti dalam rangka kampanye. Dalam konteks ini, masa cuti akan menjadi garis pembatas antara hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan Presiden dan Wakil Presiden terkait dengan fasilitas negara yang ada di bawah kekuasaannya. Ketika status Presiden atau Wakil Presiden yang berkampanye tidak jelas, maka ruang penyalahgunaan penggunaan fasilitas negara akan terbuka lebar. Fasilitas negara sangat mungkin digunakan oleh pejabat negara untuk berkampanye dengan menutupinya menggunakan alasan bahwa yang bersangkutan bukan tim kampanye dan tidak sedang berkampanye, melainkan sedang melaksanakan tugas kenegaraan. Pada ranah ini, akan terjadi apa yang disebut sebagai penyelundupan hukum dalam berkampanye, sehingga esensi penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil sesuai mandat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 akan terciderai.
Ketiga, Presiden atau Wakil Presiden yang menjadi tim kampanye juga terikat dengan ketentuan larangan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada anggota masyarakat sebagai peserta kampanye. Pelanggaran terhadap larangan ini berkonsekuensi terhadap terjadinya tindak pidana politik uang dalam kampanye pemilu.
Keempat, Presiden atau Wakil Presiden sebagai pejabat negara juga terlarang untuk membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Larangan ini berkenaan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Presiden dan Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan. Presiden dan Wakil Presiden tidak diperbolehkan mengeluarkan keputusan atau ketetapan tertulis terkait penyelenggaraan pemerintahan yang tujuannya adalah untuk memberikan keuntungan atau kerugian bagi peserta pemilu tertentu. Pada saat yang sama, Presiden dan Wakil Presiden juga tidak diperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan konkrit pemerintahan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Oleh karena itu, Presiden tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang maksudnya adalah untuk memberikan keuntungan atau kerugian elektoral bagi peserta pemilu tertentu, termasuk peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Bagaimana jika Presiden atau Wakil Presiden melanggar larangan melakukan perbuatan memberikan/menjanjikan uang atau barang kepada peserta kampanye, atau melanggar larangan membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu? Sesuai UU Pemilu, perbuatan tersebut adalah tindak pidana pemilu. Pelanggaran terhadap larangan politik uang diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 521 UU Pemilu. Ada pun pelanggaran terhadap larangan membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan/merugikan peserta pemilu diancam dengan pidana yang diatur dalam Pasal 547 UU Pemilu. Penegak hukum pemilu mesti secara sungguh-sungguh melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang melanggar ketentuan UU Pemilu, termasuk apabila hal itu dilakukan oleh orang yang tengah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Empat kerangka hukum dalam kampanye pemilu di atas merupakan instrumen untuk menjaga agar pemilu tetap berjalan jujur dan adil, sekali pun Presiden atau Wakil Presiden ikut serta dengan memihak salah satu pasangan calon. Hukum berkampanye tersebut hanya mungkin efektif dilaksanakan jika Presiden atau Wakil Presiden memiliki kemauan politik yang kuat untuk menjaga integritas pemilu. Sebaliknya, hukum pemilu akan tetap tumpul jika Presiden atau Wakil Presiden memang tak hendak menjaga fairness Pemilu 2024 yang tengah berlangsung.
Penulis : Dr. Khairul Fahmi, SH, MH (Dosen Departemen HTN Fakultas Hukum Universitas Andalas)