Hakim sebagai seorang penegak hukum serta keadilan semestinya bisa mengenal, merasakan serta mampu menyelami perasaan hukum serta keadilan yang hidup di masyarakat. Dengan begitu, hakim bisa memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum serta rasa keadilan masyarakat dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan publik. Dasar hukum mengenai praktik ini merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Berangkat dari hal tersebut, pada momen sebelum pembacaan putusan sengketa pemilihan presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pihak ketiga diberikan hak untuk masuk dalam suatu perkara untuk memberikan pendapat hukum. Konsep hukum ini acapkali disebut sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan.
Amicus curiae adalah masukan atau pendapat hukum dari pihak eksternal yang berasal dari individu atau organisasi yang tidak termasuk sebagai pihak yang berperkara tetapi memiliki kepentingan tidak langsung atau perhatian terhadap perkara tersebut. Pengertian pihak yang berkepentingan tidak langsung termakhtub dalam pasal 14 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 yang menjelasakan bahwa pihak yang berkepentingan tidak langsung adalah pihak yang karena kedudukannya, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya atau pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya terhadap permohonan yang dimaksud.
Pendapat ini diajukan dalam bentuk amici brief atau berkas yang dibuat oleh amicus curiae. Idealnya amicus curiae bertujuan untuk membantu hakim dalam melakukan penemuan hukum atau membuat keputusan mengenai suatu perkara. Secara konseptual, amicus curiae tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap putusan yang akan dibuat oleh mahkamah, melainkan hanya dijadikan sebagai salah satu pertimbangan publik dalam menilai suatu perkara. Dalam perkembangannya sudah tercatat sejumlah akademisi, tokoh politik, hingga mahasiswa yang memberikan amicus curiae demi tegaknya hukum dan demokrasi sebelum pembacaan putusan sengketa pilpres tahun 2024. Seperti Megawati Soekarno Putri, Rizieq Shihab, dan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum dari beberapa Universitas ternama.
Pada amicus curiae yang telah diajukan terdapat kesamaan dalam pokok substansi yang menginginkan mahkamah menegakkan keadilan dan memutuskan sengketa dengan berlandaskan fakta yang terjadi mengenai dugaan kecurangan pemilu yang dinilai terstruktur, sistematis, dan masif. Walaupun demikian, secara faktual kedudukan amicus curiae jelas berbeda dengan keterangan saksi atau ahli, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pokok pertimbangan yang dapat mengintervensi hakim.
Kedudukan amicus curiae hanya sebagai masukan atau statement berupa opini yang menjadi tambahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Berbeda dengan intervensi, amicus curiae tidak bertujuan untuk mengganggu independensi hakim, melainkan tindakan untuk mendukung keputusan hakim yang mencerminkan nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan melalui putusan yang bijaksana. Sejalan dengan ini, peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Beni Kurnia Illahi menekankan kembali kekuatan hukum dari amicus curiae terhadap pengambilan keputusan hakim di pengadilan, “Siapapun berhak menjadi amicus curiae dalam perkara yang sedang berjalan sepanjang amicus curiae yang diajukan logis dan terkait dengan objek yang akan diputus, amicus curiae tidak akan mempengaruhi putusan pengadilan karena sifatnya berisi pertimbangan-pertimbangan saja” kata Beni, Jumat (19/4/2024).
Perlu diingat bahwa setiap putusan hakim pasti menitikberatkan kepada bukti dan tuntutan atau petitum dari penggugat atau pihak yang berperkara di pengadilan. Berlandaskan kedudukannya yang hanya berupa pertimbangan dari pihak ketiga, pengaruh yang ditimbulkan oleh amicus curiae tidak akan mengganggu kemerdekaan hakim dalam memutus perkara tetapi akan efektif untuk membantu hakim memutus perkara. Melalui partisipasi amicus curiae, dapat tercermin upaya masyarakat untuk mendukung integritas dan transparansi dalam proses pengambilan putusan yang sedang berlangsung dengan pemberian masukan atau opini yang mungkin tidak tercakup dalam argumen yang disajikan oleh pihak yang berperkara, menunjukkan betapa pentingnya perkara tersebut bagi masyarakat secara luas.
Amicus curiae memberikan pandangan yang berharga dan berlandaskan kepedulian para pihak untuk mengawal demokrasi yang berjalan demi terwujudnya proses demokrasi berdasarkan pada nilai nilai pancasila dan keadilan. Ada atau tidak adanya amicus curiae, keputusan akhir tetap menjadi kewenangan hakim. Amicus curiae tidak memiliki kekuasaan untuk mengintervensi proses hukum atau menentukan hasil akhir dari suatu perkara. Kendati demikian, amicus curiae dapat memberikan tambahan perspektif yang dapat membantu hakim dalam memahami berbagai aspek yang terkait dengan kasus tersebut berdasarkan kacamata masyarakat atau pihak lain yang tidak terkait.
Amicus curiae menjadi salah satu instrumen penting karena hadir sebagai perwujudan dari kontribusi masyarakat yang penting dalam menjaga integritas dan kredibilitas proses peradilan. Partisipasi publik yang diwujudkan dengan amicus curiae, memungkinkan keputusan hukum yang dihasilkan mencerminkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang diinginkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Meskipun memiliki kedudukan yang terbatas dan tidak memiliki kekuatan untuk mengintervensi proses hukum, kehadiran amicus curiae dapat membantu memastikan bahwa suara masyarakat terdengar dan dipertimbangkan dalam ruang pengadilan pada proses pengambilan keputusan.
Penulis: Fadhila Rahmadiani Fasya (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)