Setelah melalui proses persidangan yang cukup menyita energi, pada 22 April, MK telah memutus perkara PHPU Pilpres 2024. MK menolak semua permohonan, baik yang diajukan pasangan calon nomor urut 1, maupun nomor urut 3. Hanya saja, MK mencatat sejarah baru, di mana putusan PHPU Pilpres kali ini tidak diambil secara bulat, karena tiga dari delapan hakim konstitusi yang menyidangkan perkara ini memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Saldi Isra, hakim Enny Nurbaningsih dan hakim Arif Hidayat menilai, MK seharusnya mengabulkan sebagian pokok permohonan dan memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah provinsi yang dinilai terbukti telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Sementara, mayoritas hakim konstitusi menilai, tidak satu pun bukti yang diajukan pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa pelanggaran TSM benar-benar telah terjadi. Kenapa perbedaan dalam menilai fakta yang terungkap dalam persidangan ini bisa terjadi?
Dengan membaca Putusan MK No. 1-2/PHPU.PRES-XXII/2024 secara utuh, setidaknya dapat dipetakan tiga hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan hakim dalam menilai dan memutus perkara ini. Pertama, dalam hukum dikenal konsep antinomi atau pertentangan. Dalam ranah penegakan hukum, antinomi hampir selalu menyertai hakim ketika hendak menempatkan dirinya dalam melakukan analisis terhadap fakta dan menerapkan hukum atas fakta itu. Akankah dia lebih mengedepankan keadilan atas suatu perkara atau memilih memberikan kepastian dan kemanfaatan dalam pendirian hukumnya. Sekalipun keadilan, kepastian dan kemanfaatan merupakan tiga cita hukum yang mesti diwujudkan secara bersamaan, namun tidak jarang, yang satu mesti lebih diutamakan dibanding yang lain, atau yang satu bahkan bertentangan dengan yang lain.
Apabila konsep antinomi digunakan untuk menilai pendirian MK terhadap PHPU Pilpres, dapat dibaca bahwa hakim konstitusi memiliki pendirian yang sama ketika menilai wewenang MK dalam memeriksa dan mengadili perkara PHPU. Tidak satu pun hakim konstitusi yang berbeda pendapat ketika hendak menyatakan MK berwenang mengadili aspek pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Semuanya sepakat bahwa MK tidak dikungkung oleh penyelesaian sengketa hasil yang semata-mata disebabkan karena adanya perbedaan penghitungan hasil pemilu. Oleh karena itu, MK dinyatakan berwenang memeriksa aspek-aspek yang berkenaan dengan pelanggaran yang terjadi dalam proses pemilu, sekali pun sudah terdapat mekanisme penyelesaian pelanggaran/sengketa proses pemilu yang dilakukan Bawaslu. Atas dasar kesamaan pandangan itulah kemudian eksepsi terkait kewenangan mengadili ditolak semua. Lain halnya dengan penilaian terhadap pokok perkara, hakim konstitusi justru bersimpang jalan dalam memberikan penilaian. Hakim mayoritas menyatakan bahwa tidak ada dalil pokok perkara yang terbukti, sebaliknya hakim minoritas menyatakan bahwa sebagian dalil pemohon seharusnya dinyatakan terbukti. Artinya, dalam menilai objek yang sama, pertentangan pendirian hukum hakim pun telah terjadi.
Kedua, dalam Putusan MK No. 1-2/PHPU.PRES-XXII/2024 terdapat perbedaan mendasar antarhakim dalam menerapkan pembuktian. Dalam pembuktian perkara PHPU, MK lebih cenderung menggunakan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijs theorie). Sebab, MK dalam memutus perkara PHPU mesti mendasarkan putusan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim.
Hakim mayoritas mendasarkan pendiriannya pada hubungan nyata dan tidak diragukan antara bukti-bukti yang diajukan dengan dalil pelanggaran yang disampaikan (beyond reasonable doubt). Atas pendirian demikian, hakim mayoritas berkeyakinan bahwa dalil permohonan berkaitan dengan independensi penyelenggara, pencalonan presiden dan wakil presiden, penyalahgunaan dana bansos, netralitas pejabat/aparatur negara, dan pelanggaran prosedur penyelenggaraan pemilu sama sekali tidak berbukti. Pendirian ini memang tidak dapat dipersalahkan. Sebab, soal keyakinan hakim atas sebuah proses pembuktian akan sangat bergantung pada tingkat kepercayaan terhadap kebenaran dalil beserta bukti-bukti yang diajukan. Dalam hal ini, hakim betul-betul mengandalkan relevansi bukti dengan dalil secara saklek (zakelijk). Pendirian seperti ini tidak ubahnya seperti pendirian hakim dalam menerapkan pembuktian negatief wettelijk dalam kasus pidana.
Berbeda halnya dengan hakim minoritas (hakim dengan pendapat berbeda). Hakim-hakim ini sekali pun terikat dengan sistem pembuktian yang sama, namun tidak memasung dirinya pada keyakinan atas bukti-bukti secara zakelijk. Keyakinan yang ada lebih cenderung dibangun atas relevansi bukti-bukti sebagai petunjuk keras atas adanya pelanggaran yang bersifat TSM. Bukti-bukti itu tidak mesti secara nyata dilihat hubungannya dengan pelanggaran yang terjadi, namun cukup sebatas memperlihatkan tanda adanya pelanggaran serius yang terjadi dalam proses pemilu. Pendirian seperti ini juga benar, karena hakim meletakkan kadar keyakinan pada batas tertentu yang juga sangat relevan dengan pembuktian pelanggaran pemilu.
Ketiga, perbedaan paradigma dalam menilai pemilu yang jujur dan adil. Sejalan dengan berbedanya para hakim konstitusi dalam meletakkan kadar keyakinannya atas bukti-bukti yang ada, hakim konstitusi juga memiliki paradigma berbeda dalam menerapkan norma asas pemilu jujur dan adil dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 pada kasus ini. Hakim mayoritas cenderung menggunakan paradigma keadilan pemilu yang bersifat prosedural, sementara hakim minoritas memilih untuk berdiri pada paradigma keadilan pemilu yang substantif. Penolakan hakim mayoritas terhadap dalil dan bukti-bukti yang diajukan para pihak didominasi oleh pendekatan prosedural penyelenggaraan pemilu, di mana ketika prosedural itu tidak terganggu secara nyata, maka pemilu dinilai telah berjalan secara jujur dan adil. Sebaliknya, penerimaan hakim minoritas terhadap dalil justru didominasi oleh cara pandang bahwa pemilu jujur dan adil tidak sebatas diukur dari telah dipatuhinya semua ketentuan prosedur penyelenggaraan, melainkan juga kepatuhan semua pihak akan norma dan etika kontestasi pemilu yang betul-betul bebas dari praktik curang dan manipulatif.
Terlepas bahwa masing-masing hakim tidak dapat dipersalahkan dengan pendirian hukumnya, namun terhadap realita putusan ini dapat diberi sejumlah catatan. Pertama, pemilu adalah sebuah kontestasi elit dalam memperebutkan kekuasaan. Sebagian elit yang berkontestasi pasti memiliki akses terhadap sumber daya kekuasaan yang rawan disalahgunakan untuk menopang proses pemenangan pemilu kelompoknya. Pada saat yang sama, elit-elit dimaksud menguasai semua perangkat yang memungkinkannya untuk mendesain pemenangan pemilu sedemikian rupa tanpa harus diketahui secara nyata ihwal kecurangan yang terkandung di dalamnya. Semua akan tampak mematuhi aturan main, namun secara esensial terdapat praktik curang yang disembunyikan secara rapi. Kalaulah dalam proses pembuktian sengketa PHPU semua hakim berpegang pada prinsip beyond reasonable doubt secara saklek sebagaimana diterapkan dalam pembuktian kasus pidana, maka sampai kapan pun pelanggaran TSM dalam pemilu nyaris tidak akan pernah dapat dibuktikan. Sebab, alasan atau dalil-dalil pelanggaran yang betul-betul tidak diragukan itu sangat sulit ditemukan dalam konteks pelanggaran TSM pemilu.
Kedua, UU Pemilu tidak akan pernah menjadi hukum sempurna yang dapat menjawab dan mengatasi semua bentuk kecurangan pemilu yang akan terjadi. Semakin UU Pemilu disusun sedemikian baiknya, semakin canggih pula upaya pihak-pihak berkepentingan untuk menghindari jerat hukum pemilu. Oleh karena itu, sikap adil seorang hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa PHPU haruslah didasarkan atas prinsip kebebasan hakim untuk menegakkan kejujuran dan keadilan pemilu sesuai yang dikehendaki konstitusi. Bukankah mandat utama seorang hakim adalah untuk menegakkan keadilan? Lalu, mengapa hakim mesti mengungkung dirinya pada sesuatu yang sesungguhnya menjerat langkahnya untuk mewujudkan keadilan substantif? Sepanjang kebebasan hakim itu diletakkan dalam bingkai kenegarawanan, sejauh itu pula ia tidak akan terpeleset pada pendirian yang tidak adil. Pada ranah ini, intuisi keadilan seorang hakim konstitusi akan menjadi kata kunci.
Ketiga, dalam Putusan MK No. 1-2/PHPU.PRES-XXII/2024, semua hakim sama-sama tidak mempersoalkan proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Hal ini ditandai dengan tidak adanya hakim yang mengabulkan dalil diskualifikasi pasangan calon nomor urut 2. Fakta ini menunjukkan bahwa hakim konstitusi yang oleh sebagian pihak diharapkan mengoreksi Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 melalui proses sengketa PHPU yang tengah berjalan, ternyata tidak terjadi. Ada tiga kemungkinan kenapa hal ini dilakukan. Pertama, mayoritas hakim sama-sama mempertimbangkan dampak negatif dari pendirian dimaksud. Jika dilakukan koreksi atas pencalonan yang didasarkan atas putusan MK sendiri, maka putusan itu diyakini akan mendatangkan mudarat yang lebih besar. Hanya saja, sikap ini justru dinilai sebagai bentuk legitimasi atas cacat bawaan proses pencalonan Pilpres 2024 yang akan dikenang sepanjang sejarah. Kedua, mayoritas hakim memang tidak hendak melakukan koreksi, karena hal itu akan berdampak pada kewibawaan MK yang telah mengeluarkan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Ketiga, sebagian hakim bisa jadi meyakini bahwa koreksi atas putusan memang tidak bisa dilakukan karena mereka menilai bahwa urusan persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang dimuat Putusan tersebut merupakan ranah pembentuk undang-undang, sehingga mereka konsisten untuk tidak mencampurinya.
Terlepas dari berbagai catatan yang dikemukakan di atas, jika MK ingin konsisten menempatkan dirinya sebagai peradilan konstitusional sesuai mandat UUD 1945, langkah ke arah mewujudkan keadilan substansial dalam mengadili perkara PHPU sudah harus diayunkan lebih kuat. Realitas pendapat berbeda dalam Putusan No. 1-2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang membuka ruang untuk berdirinya MK pada sisi keadilan substantif perlu dikembangkan. Caranya, mayoritas hakim konstitusi sudah selayaknya menggunakan kebebasan hakim berbalut intuisi keadilan ketika memeriksa dan memutus sengketa PHPU. Mengurung diri pada batas kesaklekan pembuktian hanya akan jadi jalan buntu bagi keadilan pemilu. Padahal mandat menjadikan MK sebagai peradilan politik yang mampu mewujudkan keadilan substantif dalam kontestasi pemilu seharusnya lebih diutamakan. (Sudah Tayang Pada Media Indonesia 25/4)
Penulis : Dr. Khairul Fahmi, SH, MH (Dosen Departemen HTN, Fakultas Hukum Universitas Andalas)