Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pemajuan Kebudayaan Sumatera Barat (PKSB) telah memasuki fase akhir. Namun, proses panjang sejak 2017 dan sempat sepi lalu dimulai kembali pada 2022 itu tiba-tiba mendapat respons positif dari berbagai elemen yang menamakan diri sebagai Relawan Pemajuan Kebudayaan Daerah (RPKD) Sumatera Barat. RPKD meminta agar Ranperda PKSB dimatangkan sebelum disahkan. Aspirasi tersebut disampaikan secara tertulis kepada Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat. RPKD diterima di Istana Gubernur Sumatera Barat pada Rabu, 27 Maret 2024 pagi sementara di Public Hearing DPRD pada 1 April 2024. Siapa yang tergabung dalam RPKD, apa yang disuarakan, dan bagaimana seyogianya berbagai unsur relawan kebudayaan itu kelak dihimpun?
RPKD Sumatera Barat
Tidak diketahui benar idenya dari siapa, oleh siapa, dan untuk siapa, sebuah kelompok solidaritas sosial budaya terbentuk begitu saja di Sumatera Barat. Tidak seperti sebuah lembaga formal atau organisasi modern, yang biasanya ada kajian akademis, atau setidaknya penyamaan persepsi, kongko-kongko atau rapat-rapat dan diskusi terpumpun (FGD), bentuk struktur kepengurusan, susun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, lalu buat akta ke Notariat. Jadilah sebuah perkumpulan, organisasi kemasyarakatan, atau yayasan. Begitu lazimnya.
Berbeda dengan itu, RPKD Sumatera Barat lahir begitu saja. Memang baru beberapa hari muncul, tetapi ia mencuatkan sebuah fenomena yang menarik Tercatat 27 orang Relawan (beberapa pendukung belum sempat mencatatkan diri dalam penyampaian aspirasi tertulis dalam bentuk “Ranperda Dampingan” kepada Pimpinan DPRD dan Gubernur Sumatera Barat) yang merupakan representasi dari berbagai organisasi kemasyarakatan bidang keumatan dan kebudayaan, yakni: MUI; Yayasan SAKO Anak Negeri; LKAAM; Bakor KAN; Bundo Kanduang; Pusat Studi Kebudayaan; SURI; Sanggar Seni; termasuk Budayawan; Seniman; dan Akademisi Bidang Kebudayaan. Pemersatu mereka tiada lain adalah kepedulian terhadap Pemajuan Kebudayaan di Sumatera Barat.
Ada sebelas isu yang diangkat oleh RPKD Sumatera Barat itu dalam “Ranperda Dampingan” yang diusulkan, yakni: pengarusutamaan kebudayaan, pelurusan konsep kebudayaan, penegasan adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah sebagai Ruh kebudayaan Sumatera Barat, dan kemestian Ruh atau sistem nilai esensial itu dijadikan standar gagasan, perilaku, dan karyacipta di masyarakat. Isu berikutnya adalah perlunya dibentuk Majelis Kebudayaan Sumatera Barat (MKSB), pemajuan kebudayaan harus meliputi penguatan; pemajuan; dan pelestarian, perlunya dukungan signifikan pemajuan kebudayaan dari APBD sebesar 2% (selaras dengan pemikiran Komisi V DPRD Sumatera Barat), perlunya kesadaran kemultian etnik di Sumatera Barat (Minangkabau, Mentawai, Mandailing, dan Kelompok Diasporik), perlunya kesadaran kebinekaan di atas keberagaman identitas etnik sehingga membentuk sebuah mosaik atau taman bunga Sumbar yang indah aneka warna.
Isu lainnya adalah prihal “kebebasan berekspresi” yang bisa menyesatkan sehingga perlu diganti dengan ekosistem kebudayaan yang mendukung kondusifitas berkreasi dan berinovasi. Terakhir adalah tantangan kepada semua pihak untuk membuktikan bahwa Sumatera Barat bukan provinsi yang intoleran, justru sebaliknya sangat toleran, santun, dan demokratis sehingga mampu hidup rukun secara dinamis berdampingan dengan etnik-etnik lain, baik di ranah Sumatera Barat maupun di perantauan sebagai diaspora. Ajaran demokrasi, toleransi dan adaptasi dari budaya Minangkabaulah yang menjadikan banyak putra daerah ini menjadi pelopor kemerdekaan bahkan menjadi the founding fathers utama Republik Indonesia pada 1945.
Perlunya Majelis Kebudayaan Sumatera Barat
Salah satu isu yang diperjuangkan RPKD adalah perlunya dibentuk Majelis Kebudayaan Sumatera Barat (MKSB). Ada beberapa konsep yang diperdebatkan dalam pemilihan nomenklatur, yakni lembaga kebudayaan; dewan kebudayaan; atau majelis kebudayaan. Ketiga kata nama tersebut dicoba ditelusuri pada beberapa literatur terutama empat peraturan perundangan terkait pembangunan atau pemajuan kebudayaan, yakni: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (UU No. 5 Tahun 2017), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2021 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (PP No. 87 Tahun 2021), Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (Permendikbud No. 45 Tahun 2018), dan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Indeks Pembangunan Kebudayaan (Permendikbudristek No. 55 Tahun 2022).
Pertama, lembaga kebudayaan adalah nomenklatur yang lazim digunakan untuk berbagai organisasi yang berberak di bidang kebudayaan atau kesenian. UU No. 5 Tahun 2017 menggunakan 8 kali nomenklatur itu tetapi tidak ditemukan pengertian yang dimaksud. Nomenklatur itu digunakan dalam konteks pembinaan, yang meliputi subjek Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan. Pada Permendikbudristek No. 55 Tahun 2022 justru tidak ditemukan kata “lembaga kebudayaan” sama sekali.
Kata “Lembaga Kebudayaan” ada pada PP No. 87 Tahun 2021, Pasal 1 Angka 13 berbunyi “Lembaga Kebudayaan adalah organisasi yang bertujuan mengembangkan dan membina Kebudayaan”. Senada tapi berbeda rumusan, Permendikbud No. 45 Tahun 2018 Pasal 1 Angka 5 menyebut “Lembaga Kebudayaan adalah lembaga yang berperan dalam Pemajuan Kebudayaan”.
Kedua, nomenklatur “Dewan Kebudayaan” tidak ditemukan dalam UU No. 5 Tahun 2017, PP No. 87 Tahun 2021, dan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2022. Kata itu ada dalam Permendikbud No. 45 Tahun 2018 dan muncul sebanyak 12 kali. Tidak ada penjelasan defenisinya dalam keentuan umum. Konteks penyebutannya disamakan/ disetarakan dengan dewan kesenian sebagai organisasi yang cenderung sebagai organisasi profesi. Organisasi pembanding yang disebut juga di dalam Permendikbud itu adalah Organisasi Kemasyarakatan yang bergerak di bidang kebudayaan, lembaga adat, di samping personal pendidik atau akademisi, budayawan atau seniman, pemangku adat, dan orang yang pekerjaannya memiliki kaitan erat dengan Objek Pemajuan Kebudayaan.
Ketiga, kata “Majelis Kebudayaan” tidak ditemukan pada keempat peraturan perundangan tentang kebudayaan di atas. Istilah itu ditemukan digunakan dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Di samping itu, penggunaanya telah cukup luas, seperti adanya Majelis Kebudayaan Minahasa (MKM), Majelis Kebudayaan Cilegon (Kota Cilegon), Majelis Kebudayaan Deli Serdang, Majelis Kebudayaan Sumbawa, Majelis Kebudayaan Aceh, dan Majelis Adat Budaya Jawa (MABJ). Bahkan, Muhammadiyah mengubah nomenklatur LSBO (Lembaga Seni Budaya dan Olahraga) menjadi Majelis Kebudayaan Muhammadiyah.
Ketiga kata nama di atas sesungguhnya sama-sama mengusung makna organisasi atau kelembagaan, berupa himpunan banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, dengan struktur organisasi, tugas dan fungsi, serta perangkat organisasi lainnya. Ada kecenderungan pemahaman bahwa “lembaga kebudayaan” merupakan organisasi eksekutif yang program kerjanya cenderung berupa eksekusi teknis dan operasional bidang kebudayaan. Sementara itu, tugas dan fungsi “Dewan Kebudayaan” lebih bersifat pemberian pertimbangan, nasihat, rekomendasi, dan pengambilan keputusan. “Majelis Kebudayaan” bermakna pertemuan dan atau perkumpulan banyak orang yang mewakili berbagai kelompok dan golongan yang bergerak di bidang kebudayaan. Dalam realitas berbangsa dan antarbangsa, kita dapat membandingkan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)(anggotanya terdiri atas wakil-wakil rakyat dari partai politik) dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)(anggotanya terdiri atas Anggota DPR dan DPD/ Utusan Daerah dan Golongan). Atau, juga bisa dengan membandingkan antara Dewan Kemanan PBB (terdiri atas 5 Anggota tetap dan 10 Anggota tidak tetap) dengan Majelis Umum PBB (dengan anggota 192 negara).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa “Lembaga Kebudayaan”, “Dewan Kebudayaan”, dan “Majelis Kebudayaan” memiliki karakteristik masing-masing. “Lembaga Kebudayaan” adalah organisasi formal atau informal yang bertujuan mengembangkan dan membina Kebudayaan atau lembaga yang berperan dalam Pemajuan Kebudayaan. Lembaga seperti itu banyak di Sumatera Barat, seperti: organisasi kemasyarakatan urusan kebudayaan, yayasan kebudayaan, lembaga swadaya masyarakat, sanggar, paguyuban, dan lainnya. Organisasi atau lembaga dimaksud sebagian telah dicatat berhimpun di dalam RPKD dan masih banyak lagi yang belum dicatatkan.
“Dewan Kebudayaan” lebih spesifik, mengarah kepada organisasi profesi, mungkin semacam LSM/ NGO atau sejenisnya, bertujuan memberi nasihat, atau membuat keputusan sikap atau rekomendasi. Dewan kebudayaan setara dengan dewan kesenian, diposisikan seperti halnya organisasi kemasyarakatan, lembaga masyarakat adat, kelompok akademis, dan lainnya. Di samping itu, “Majelis Kebudayaan” adalah organisasi yang lebih tinggi daripada “dewan kebudayaan” karena menjadi tempat atau wadah berhimpunnya berbagai “lebaga kebudayaan” termasuk “dewan kebudayaan”.
Pertanyaannya sekarang, apa jenis yang dikehendaki dalam pemilihan nomenklatur itu untuk Sumatera Barat? Jenis organisasi yang dikehendaki adalah adanya sebuah wadah bagi berhimpunnya seluruh lembaga kebudayaan yang ada, termasuk dewan kesenian atau dewan kebudayaan, paguyuban, organisasi kemasyarakatan urusan kebudayaan, dan unsur lainnya. Wadah itu menjadi tempat permusyawaratan-perwakilan, mediasi penyaluran aspirasi, perumusan nilai; norma; gagasan; sikap; rekomendasi, dan pembuatan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan urusan kebudayaan dari seluruh stake holder kebudayaan. Perlu diingat, urusan kebudayaan berkaitan dengan seluruh bidang dan sektor kehidupan, meliputi: ideology, politik, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, pendidikan, kesenian, adat istiadat, dan lainnya.
Mengingat begitu banyak lembaga kebudayaan di Sumatera Barat, baik yang sudah bernama maupun yang belum mengekspresikan diri dan yang belum memiliki wadah berhimpun yang representative, maka gagasan pembentukan “Majelis Kebudayaan Sumatera Barat” perlu diakomodasi ke dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi Sumatera Barat tentang Pemajuan Kebudayaan oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat. Semoga.*
Penulis: Dr. Hasanuddin, M. Si. (Dosen FIB Universitas Andalas)